Ancaman Darurat Iklim, Menteri PPN Soroti Peningkatan Intensitas Hujan di Bogor Akibat Cuaca Ekstrim
Namun dalam beberapa hari terakhir Bogor hanya memiliki sekitar 48 hari dalam setahun yang tidak turun hujan.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa menyoroti perubahan iklim yang berakibat curah hujan di Bogor meningkat dalam setahun terakhir.
Sebagai warga yang pernah tinggal lama di Bogor, ia berujar biasanya dalam satu tahun Kota Bogor memiliki sekitar 90 hingga 100 hari yang tidak turun hujan.
Namun dalam beberapa hari terakhir Bogor hanya memiliki sekitar 48 hari dalam setahun yang tidak turun hujan.
“Ini menurut anak saya yang tinggal di sana itu hanya kira-kira tinggal 48 hari dalam satu tahun yang tidak hujan di Bogor,” kata Suharso Monoarfa di webinar Indonesia Net Zero Summit 2021 yang berkaitan dengan Darurat Perubahan Iklim, Selasa (20/4/2021).
Menteri PPN mengatakan telah terjadi peningkatan kejadian cuaca ekstrim, tak terkecuali dampaknya pada peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti kekeringan, longsor, banjir dan abrasi.
BNPB mencatat 99 persen bencana yang terjadi selama tahun 2020 misalnya, itu diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi.
“Siklon Seroja, Siklon Surigae yang sedang berlangsung berdampak signifikan yang mengancam kehidupan manusia,” katanya.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG Rabu, 21 April 2021: Sebagian Wilayah Ini Berpotensi Hujan Lebat hingga Angin
Menurutnya, krisis iklim tidak hanya berpengaruh pada kerusakan lingkungan, namun juga berdampak pada kondisi perekonomian dan penghidupan masyarakat nantinya.
Sekiranya 5,8 juta km2 wilayah perairan Indonesia berbahaya bagi kapal kecil nelayan yang tidak memiliki keselamatan yang memadai, dimana 1.800 km garis pantai masuk kategori sangat rentan.
Perubahan iklim juga berpengaruh pada produktivitas pertanian yang dapat berakibat pada penurunan produksi pangan, terutama di daerah sentra padi.
Di sektor kesehatan perubahan iklim juga berdampak pada kejadian luar biasa penyakit berbasis vektor seperti DBD, malaria, pneumonia dan ISPA.
“Pemerintah mencatat kerugian ekonomi akibat bencana ini sejumlah Rp 22,8 triliun hingga Rp 30 triliun per tahunnya, dengan korban jiwa dalam 10 tahun terakhir mencapai 1.183 orang,” kata Suharso Monoarfa.
Suharso mengatakan pemerintah menyadari diperlukan peningkatan reforestasi lahan terlantar atau lahan tidur jadi hutan sekunder seluas 250.000 hektar.
Namun disamping itu kebijakan strategis rendah karbon di sektor energi untuk meningkatkan efisiensi energi dan bauran energi terbarukan yang ambisius juga sangat harus dilakukan.