Tumbuhkan Nasionalisme Merupakan Strategi Walisongo Rangkul Semua Kalangan
Walisongo berdakwah tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang, yakni hanya mengajarkan tentang ajaran Islam, namun yang dilakukan para Wali mela
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Cendekiawan Muslim KH. Ahmad Baso memaparkan bagaimana Walisongo berdakwah di masanya, ketika Nusantara masih dihuni oleh warga beragama Hindu dan Buddha.
"Walisongo ternyata melakukannya lewat pendekatan budaya dan penyelesaian isu kehidupan sehari-hari," ujar KH Ahmad Baso saat berbicara di episode ke-20 Ngabuburit bersama Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Pusat PDI Perjuangan, “Mata Air Kearifan Walisongo”, Minggu (2/5/2021).
Tema yang diangkat adalah “Hubungan Walisongo dan Komunitas Tionghoa Hindu Bali”, dengan dipandu oleh Cendekiawan NU Zuhairi Misrawi sebagai host. Acara ini ditayangkan dan bisa ditonton ulang di akun youtube resmi BKN, @bknp pdiperjuangan.
Ahmad Baso menjelaskan orang Bali bisa bertemu dengan para wali.
“Mereka ketemu pada level angajawi-nya, bernusantaranya. Dulu Bali hanya lokal-lokal, Hindu lokal, tapi ketika bertemu dengan karakter nasionalnya, maka bangsa ini yang diperkenalkan oleh para Wali, rasa persaudaraan dan gotong royong dalam menerapkan nilai islam di Nusantara,” ujar Ahmad Baso.
Dia menjelaskan, ketika berdakwah di Nusantara, terlebih pada masyarakat komunitas Tionghoa serta Hindu Bali, para wali tidak serta merta mengajarkan bagaimana cara masuk agama Islam.
Baca juga: Peran Walisongo dalam Persebaran Agama Islam di Tanah Jawa
Namun Walisongo lebih dulu mendalami psikologi dan problem yang tengah terjadi di kalangan masyarakat Bali kala itu. Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu problemnya adalah ekonomi.
“Walisongo berdakwah tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang, yakni hanya mengajarkan tentang ajaran Islam, namun yang dilakukan para Wali melampaui itu semua,” katanya.
“Itu sebabnya ketika para Wali datang ke Bali tidak mengajarkan dulu bagaimana harus masuk Islam, enggak. Tapi diajarkan dulu bagaimana membangun ekonominya, bagaimana bisa maju, sejahtera, bagaimana bisa mandiri dan tidak bergantung pada impor,” beber Ahmad Baso.
Menurut Ahmad Baso, persaudaraan dan gotong royong menuju sebuah kebangkitan, sebuah etos kerja, bersama bekerja untuk masa depan yang lebih baik. Itulah merupakan strategi yang digunakan Walisongo.
Sehingga hadirnya Walisongo merupakan sebuah angin segar bagi komunitas Tionghoa Hindu Bali. Mereka banyak belajar dari Walisongo mengenai berbagai ilmu pengetahuan yang kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Salah satunya penulis Bali, didokumentasikan dalam naskah-naskah sejarah mereka, mereka menyebut kenapa orang Bali itu butuh kepada Walisongo? Karena Walisongo merupakah solusi bagi keberlangsungan peradaban mereka. Banyak dari mereka yang berguru kepada Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Kudus, yang kita tahu sangat fikih oriented. Itu ternyata orang bali berguru kepada Walisongo,” jelas Ahmad Baso.
Sama seperti orang kebanyakan saat ini, Ahmad Baso mengatakan komunitas Tionghoa dan Hindu Bali saat itu juga menginginkan hidup yang sejahtera dan makmur.
Maka lewat pintu inilah Walisongo mendakwahkan ajaran-ajaran agama Islam yang senada dengan adat budaya masyarakat di Bali. Misalnya masyarakat Bali membutuhkan salah satu pengobatan tradisional lewat kalimat Bismillah yang merupakah salah satu ayat Al-Qur’an. Hal ini diajarkan Walisongo tanpa memperdulikan apakah nanti masuk Islam atau tidak. Sebab yang paling penting adalah nilai-nilai keislaman diperkenalkan lebih dulu.
“Kenapa mereka butuh Walisongo? Pertama mereka butuh hidup sejahtera dan makmur. Yang kedua bagaimana mereka belajar tentang ilmu pengobatan, jimat-jimat, bacaan, dan rajah. Semisal lafadz bismillah yang sering kita baca, pada waktu itu bagai orang Bali merupakan bacaan pengobatan. Dan diyakini dapat menyembuhkan sebuah penyakit,” ungkap Ahmad Baso.
Dari kisah itu, Ahmad Baso menilai setiap warga negara bisa menyontoh teladan hidup para Walisongo. Khususnya dalam kehidupan kebangsaan di tengah ancaman ideologi transnasionalisme yang ingin menyeragamkan.
Menurutnya, setiap warga harus memiliki rasa nasionalisme kepada bangsanya sendiri. Ini sebagai bentuk kesadaran dan cinta tanah air yang ditunjukkan melalui sikap dan tingkah laku tanpa memandang ras, suku dan agama.
“Semangat gotong royong adalah salah satu kunci utamanya. Semangat ini yang kemudian digulirkan Walisongo dalam Komunitas Tionghoa Hindu Bali untuk menyebarkan nilai-nilai keberislaman yang senada dengan budaya Nusantara yang tengah berkembang pada waktu itu,” pungkas Baso.
Program Ngabuburit Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan dengan tema besar ‘Mata Air Kearifan Walisongo’ hadir setiap hari pada bulan Ramadhan pukul 17.00 WIB. Dapat diikuti melalui kanal Youtube: BKNP PDI Perjuangan, Instagram: BKNPusat dan Facebook: Badan Kebudayaan Nasional Pusat.