Ada Dugaan Pelecehan Seks dan Pelanggaran HAM di Materi Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Materi TWK pada 18 Maret - 9 April 2021 kepada 1.351 pegawai KPK menunjuklan hal yang aneh, lucu, seksis, diskriminatif dan berpotensi melanggar HAM
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lewat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pelecehan seksual lewat pertanyaan yang dilakukan pewawancara terhadap calon ASN di KPK.
Pasalnya dalam sesi wawancara tes wawasan kebangsaan (TWK), PBNU menemukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pewawancara sama sekali tidak terkait dengan wawasan komitmen bernegara dan kompetensinya dalam memberantas korupsi.
“Mencermati cerita-cerita dari pegawai KPK yang diwawancarai terkait cara, materi dan durasi waktu wawancara yang berbeda-beda tempat terdapat unsur kesengajaan yang menargetkan pegawai KPK yang diwawancarai,” kata ketua LAKPESDAM PBNU, Rumadi Ahmad lewat keterangan pada Sabtu (8/5/2021).
Rumadi Ahmad menyebut materi Tes Wawasan Kebangsaan yang dilakukan pada 18 Maret hingga 9 April 2021 kepada 1.351 pegawai KPK menunjukkan hal yang aneh, lucu, seksis, diskriminatif dan berpotensi melanggar HAM.
Baca juga: PBNU: Tes Wawasan Kebangsaan Melenceng, Menjijikkan dan Langgar HAM, Jokowi Harus Batalkan
Sebagai contoh sejumlah pewawancara menanyakan pertanyaan: Mengapa umur segini belum menikah? Masihkah punya hasrat? Mau nggak jadi istri kedua saya? Kalau pacaran ngapain aja?
Baca juga: Ada Pertanyaan soal Jilbab dalam TWK di KPK, Giri Suprapdiono: Menurut Saya Ini Keterlaluan
Kenapa anaknya disekolahkan di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT)? Kalau shalat pakai qunut nggak? Islamnya Islam apa? Bagaimana kalau anaknya nikah beda agama?
Pertanyaan tersebut dinilai ngawur, tidak profesional dan mengarah pada ranah personal yang bertetangan dengan undang-undang Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: Eks Jubir KPK Minta Pemerintah Terbuka Menjawab Polemik TWK: Pernyataan seperti Saling Lempar
Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atasa rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
“PBNU meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengusut pelanggaran hak-hak pribadi, pelecehan seksual rasisme dan pelanggaran lain yang dilakukan pewawancara kepada pegawai KPK yang diwawancara,” katanya.
PBNU menilai TWK yang diselenggarakan KPK bukan tes masuk menjadi ASN.
Seolah-olah TWK digunakan untuk mengeluarkan dan menyingkirkan sejumlah pegawai KPK yang bersebrangan dengan penguasa dan mengancam pihak-pihak yang bersekongkol melakukan korupsi yang ditangani KPK.
Apalagi diketahui sebagian besar pegawai yang dites adalah mereka yang sudah lama bekerja di KPK dan terbukti memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi.
Sebagian pegawai KPK yang dites disebut juga sedang menangani proyek yang sangat serius.
Karena itu, PBNU meminta kepada Presiden RI Joko Widodo membatalkan TWK yang dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK, karena pelaksanaannya cacat etik-moral dan melanggar HAM yang dilindungi UUD 1945.
Ketua LAKPESDAM PBNU juga meminta agar MenPAN RB mengembalikan TWK calon ASN sebagai uji nasionalisme dan komitmen bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan bukan sebagai screening Litsus Zaman Orde Baru atau mihnah zaman Khalifah Abbasiyah.
“TWK tidak bisa dijadikan alat untuk mengeluarkan pegawai KPK yang sudah lama bergelut dalam pemberantasan korupsi,” lanjutnya.
PBNU juga mengajak masyarakat untuk terus mengawal dan menguatkan KPK dengan cara menjaga independensi KPK dari pengaruh-pengaruh eksternal yang bertujuan melemahkan KPK, baik secara cepat atau lambat.
Strategi Singkirkan Penyidik Berintegritas
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad menaruh curiga ada skenario di balik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai lembaga antirasuah tersebut tak lolos.
"Menurut saya ada semacam tujuan untuk screening pegawai KPK itu, agar yang bisa diharapkan nanti di dalam KPK adalah orang yang bisa dianggap tidak membahayakan pemberantasan korupsi," kata Samad dalam diskusi Polemik Trijaya Dramaturgi KPK, Sabtu (8/5/2021).
Ketika dirinya menjabat sebagai Ketua KPK hingga sekarang, hampir semua 75 orang yang dikabarkan tidak lolos TWK sebagai tahap alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dikenalnya.
Menurut Samad, mereka orang-orang yang justru dikenal tegas dalam memberantas korupsi.
"Ketika 75 orang tidak lulus, saya bertanya ada apa sebenarnya? Apakah skenario ini memang ditujukan untuk menyingkirkan 75 orang ini? TWK ini memang jangan-jangan untuk menyingkirkan," kata Samad.
"Satu-satunya cara untuk melumpuhkan sama sekali pemberantasan korupsi yaitu harus membungkam orang-orang yang selama ini tegak lurus di KPK, di antaranya 75 orang ini," lanjutnya.
Samad juga menyoroti sejumlah pertanyaan TWK yang tidak relevan seperti yang diberitakan media massa, di antaranya yakni pertanyaan mengenai kesediaan membuka hijab untuk mengetahui apakah seseorang tergolong radikal atau tidak.
"Walaupun kita ingin menggali apakah mereka radikal, ada pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih bisa membuka seseorang bahwa dia radikal atau tidak, bukan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu," tandasnya.
Tanggapan BKN
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana dalam siaran pers yang dikirim kepada Tribunnews.com, Sabtu, (8/5/2021), mengatakan, TWK diberikan kepada para pegawai KPK yang akan alih status menjadi ASN berdasarkan amanat Pasal 5 ayat (4) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Asesmen TWK dilakukan oleh KPK bekerjasama dengan BKN.
"Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud, telah ditentukan persyaratan Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai ASN," kata Bima.
Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan bagi pegawai KPK ini kata dia, berbeda dengan TWK yang dilakukan bagi CPNS. Menurutnya CPNS adalah entry level, sehingga soal-soal TWK yang diberikan berupa pertanyaan terhadap pemahaman akan wawasan kebangsaan.
Sedangkan TWK bagi pegawai KPK ini dilakukan terhadap mereka yang sudah menduduki jabatan senior (Deputi, Direktur/Kepala Biro, Kepala Bagian, Penyidik Utama, dll).
"Sehingga diperlukan jenis tes yang berbeda, yang dapat mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara," katanya.
Untuk menjaga independensi, maka dalam melaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, digunakan metode Assessment Center yang juga dikenal sebagai multi-metode dan multi-asesor.
Multi-metode yakni tes dengan menggunaan lebih dari satu alat ukur. DDalam asesmen ini dilakukan dengan menggunakan beberapa alat ukur yaitu tes tertulis Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas (IMB-68), penilaiaan rekam jejak (profiling) dan wawancara.
Metode Multi-Asesor, menurutnya asesor yang dilibatkan tidak hanya berasal dari BKN, namun melibatkan asesor dari instansi lain yang telah memiliki pengalaman dan yang selama ini bekerja sama dengan BKN dalam mengembangkan alat ukur tes wawasan kebangsaan.
"Seperti Dinas Psikologi TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BAIS dan Pusat Intelijen TNI AD," kata dia.
Menteri Tjahjo Bantah Terlibat
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan/RB) Tjahjo Kumolo berkilah pihaknya tidak terlibat dalam proses TWK yang sebabkan 75 orang tidak lolos asesmen.
"Dasar test pegawai KPK adalah peraturan komisioner KPK, Kemenpan RB tidak ikut dalam proses test wawasan kebangsaan tersebut," kata Tjahjo dikonfirmasi, Kamis, (6/5/2021).
Menurut Tjahjo masalah tidak lulusnya 75 orang pegawai KPK merupakan masalah intern rumah tangga KPK.
Menurut dia, keputusan asesmen tersebut, merupakan hasil dari tim wawancara tes yang hasilnya diserahkan kepada pimpinan KPK. Adapun tim wawancara tes dibentuk BKN sepengetahuan pimpinan KPK.
"Ya sudah selesai- kok dikembalikan ke PAN- RB, dasar hukumnya apa, ini kan intern rumah tangga KPK," kata dia.
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami, Reza Deni dan Taufik Ismail