Pengamat: Secara Konstitusional, Proses Alih Status Tidak Boleh Merugikan Pegawai KPK
Alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagai konsekwensi berlakunya UU 19/2019 tentang KPK dilakukan tidak boleh serampangan.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 75 pegawai KPK tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal itu dilakukan KPK sebagai proses alih status para pegawai menjadi ASN yang rencananya dilantik pertengahan tahun ini.
Hasil tersebut menjadi sorotan publik terkait nasib dari 75 pegawai KPK yang tak lolos seleksi TWK.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid mengatakan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagai konsekwensi berlakunya UU 19/2019 tentang KPK dilakukan tidak boleh serampangan.
Selain itu, wajib berpedoman pada kaidah-kaidah konstitusional sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Perkara Nomor: 70/PUU-XVII/2019.
"Sebab proses alih status pegawai KPK merupakan sebuah produk regulasi yang baru yang mana ada pihak-pihak yang terdampak langsung secara sistemik dari keberlakuan suatu norma baru dan salah satunya adalah pegawai KPK," ujar Fahri Bachmid, kepada wartawan, Selasa (11/5/2021).
"Sehingga secara doktrinal maupun prinsip-prinsip hukum pada hakikatnya eksistensi sebuah norma hukum itu tidak boleh merugikan pihak terkait yang berkepentingan langsung dengan objek serta organ yang diatur. Ini adalah sesuatu yang sangat elementer, karena terkait dengan dimensi hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi," imbuhnya.
Hal itu, kata Fahri, dapat dicermati dan dilihat dalam UU No. 19/2019, bahwa ditentukan waktu untuk dilakukannya penyesuaian peralihan status kepegawaian KPK adalah paling lama 2 tahun sejak UU KPK berlaku.
Berkaitan dengan mekanisme penyesuaian tersebut telah diterbitkan instrumen hukum yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN (PP 41/2020).
Menurut Fahri, hal itu secara substansial desain dan konstruksi pengalihannya telah ditentukan skema pengalihan yaitu mulai dari pemetaan ruang lingkup pegawai KPK (apakah berstatus pegawai tetap atau pegawai tidak tetap) sampai dengan tahapan pengalihannya dengan melakukan penyesuaian jabatan pada KPK.
"Identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK; pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai dengan jabatan ASN yang akan diduduki; Bahwa pelaksanaan pengalihan pegawai apakah akan menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK); serta menetapkan kelas jabatannya hal demikiam mengacu pada ketentuan norma Pasal 4 PP 41/2020," jelasnya.
"Dengan demikian, sekalipun pegawai KPK tersebut telah berusia 35 tahun atau lebih tidak berarti mereka akan kehilangan kesempatan untuk dilakukan penyesuaian apakah menjadi PNS atau PPPK, sekali lagi hal ini karena berkaitan dengan hak konstitusional dari para pegawai KPK itu," kata dia..
Fahri Bachmid menambahkan untuk mengatur lebih lanjut mekanisme kerja pengalihan tersebut agar lebih cepat diwujudkan sesuai dengan kondisi faktual, bahwa PP RI No. 41/2020 menyerahkan pengaturannya dalam Peraturan KPK, bahwa dalam Peraturan KPK 'beleid' inilah telah ditentukan penghitungan terhadap masa kerja dalam jenjang pangkat sebelum pegawai KPK menjadi ASN sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara.
Baca juga: Syamsuddin Haris: TWK Bagi Pegawai KPK Memang Bermasalah
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.