Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rekam Jejak Dokter Terawan, Eks Menkes yang Dikabarkan Mundur dari Calon Duta Besar RI

Terawan dicalonkan menjadi Duta Besar Indonesia di Spanyol. Namun, kekinian beredar isu bahwa Terawan mundur sebagai calon duta besar.

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Rekam Jejak Dokter Terawan, Eks Menkes yang Dikabarkan Mundur dari Calon Duta Besar RI
Tribunnews.com/ Srihandriatmo Malau
Terawan Agus Putranto, saat masih menjabat Menteri Kesehatan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI telah menerima calon duta besar Republik Indonesia yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dari 31 daftar nama yang diajukan, ada nama eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Terawan dicalonkan menjadi Duta Besar Indonesia di Spanyol.

Namun, kekinian beredar isu bahwa Terawan mundur sebagai calon duta besar.

Hal itu diungkapkan anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai NasDem, Muhammad Farhan, saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (20/5/2021).

"Itu yang akan kita bahas ulang (kabar Terawan mundur). Karena tadi ada isu sedikit soal Pak Terawan. Makanya kita mau konfirmasi ulang. Obrolan saya dengan Pak Sekjen begitu," kata Farhan.

Baca juga: Beredar Kabar Eks Menkes Terawan Mundur dari Calon Dubes RI

Sosok Terawan, Dokter Militer yang Pernah Jadi Menkes

Berita Rekomendasi

Terawan Agus Putranto lahir di Yogyakarta, 5 Agustus 1964. Menjabat sebagai Menteri Kesehatan Indonesia sejak 23 Oktober 2019. Sebelum menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Terawan adalah seorang dokter militer dan menjabat sebagai ketua Tim Dokter Kepresidenan.

Terawan merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kemudian Terawan masuk menjadi anggota TNI AD dan mulai di tugaskan ke beberapa daerah seperti Lombok, Bali dan Jakarta.

Kontroversi Terawan

Sebelum menjadi Menkes, Terawan juga sempat menjadi pusat perhatian setelah mengenalkan terapi cuci otak atau brain wash untuk penderita stroke.

Berikut sosok dokter Terawan beserta kontroversinya dikutip dari Kompas.com berjudul: Profil Terawan Menteri Kesehatan, Dokter Cuci Otak yang Kontroversial 


1. Jadi dokter di usia muda

Dokter Terawan lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada di usia 26 tahun.

Dia kemudian melanjutkan pendidikan spesialis di Departemen Spesialis Radiologi Universitas Airlangga Surabaya.

Kemudian dokter Terawan mengambil program doktor di Universitas Hasanuddin (Unhas) pada 2016.

Judul disertasi Terawan adalah "Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, MOtor Evokde Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis" dengan promotor dekan FK Unhas, Prof Irawan Yusuf, PhD.

Terawan mulai menjadi dokter tentara pada 1990 dan ditugaskan di berbagai wilayah, hingga akhirnya menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta sejak 2015.

Baca juga: DPR RI Terima Surpres Calon Dubes RI

Terawan juga merupakan salah satu dokter kepresidenan. Dia sempat ditunjuk Jokowi untuk membantu merawat almarhum Ani Yudhoyono ketika menjalani pengobatan kanker darah di Singapura beberapa waktu lalu.

2. Kontroversi terapi cuci otak

April tahun lalu, nama Terawan hangat diperbincangkan masyarakat. Saat itu Terawan memperkenalkan metode cuci otak atau brain wash yang diyakini dapat mengobati stroke.

Saat itu Terawan mengaku, terapinya memberi hasil bagus kepada pasien.

"Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi cuci otak itu," kata Terawan dilansir Wartakotalive.

Di lain sisi, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyebut metode Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke belum teruji secara klinis.

Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan, setiap teknologi dan metode pengobatan mesti melalui uji klinis.

"Harus dibuktikan kembali bahwa dengan cara itu saja apakah bisa menggantikan terapi konservatif yang ada? Belum tentu, dia harus membuktikan," kata Marsis kepada wartawan, Senin (9/4/2018).

Marsis menjelaskan, metode dan teknik pengobatan yang diterapkan Terawan telah teruji secara akademis ketika ia memperoleh gelar doktor di bidang kedokteran.

Namun, metode tersebut tetap harus diuji secara klinis dan praktis untuk bisa diterapkan kepada masyarakat luas.

3. Dianggap melanggar kode etik IDI

Kontroversi terapi Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke berujung pada pemecatan sementara Terawan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

Ketua MKEK, dr Prijo Pratomo, Sp. Rad, mengatakan, MKEK tidak mempermasalahkan teknik terapi pengobatan DSA yang dijalankan Terawan untuk mengobati stroke. Namun yang dipermasalahkan adalah kode etik yang dilanggar.

"Kami tidak mempersoalkan DSA, tapi sumpah dokter dan kode etik yang dilanggar," ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (4/4/2018).

Prijo menyebut ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar.

Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.

Pada pasal empat tertulis: Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Terawan tidak menaati itu, dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat serta mencederai sumpah dokter.
Sementara itu, kesalahan lain dari Terawan adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal enam.

Bunyi pasal enam Kodeki: "Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat".

"Sebetulnya kami tidak mengusik disertasi yang diajukan Terawan, apalagi Prof Irawan sebagai promotor," jelas Prijo.

Namun, temuan hasil penelitian akademik yang akan diterapkan pada pasien harus melalui serangkaian uji hingga layak sesuai standar profesi kedokteran.

Bukan berarti yang sudah ilmiah secara akademik lantas ilmiah secara dunia medis.

"Ada serangkaian uji klinis lewat multisenter, pada hewan, in vitro, in vivo. Tahapan-tahapan seperti itu harus ditempuh," imbuh Prijo.

Terapi pengobatan, kata Prijo, lagi-lagi mesti sejalan dengan sumpah dokter dan kode etik, termasuk dokter dilarang mempromosikan diri.

Testimoni yang berasal dari para pejabat, selebriti papan atas, atau pasien bukanlah evidence base yang menguatkan penelitian akedemik untuk layak dalam dunia medis.

Sanksi pemecatan dokter Terawan oleh IDI berlangsung selama 12 bulan sejak 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.

4. Tangani pasien stroke sejak 2005

Dilansir dari laman warta kota, Terawan mengaku sudah menerapkan metode cuci otak untuk mengatasi masalah stroke sejak tahun 2005.

"Sudah sekitar 40.000 pasien yang kami tangani," katanya.

Bahkan menurutnya, tak banyak komplain dari masyarakat yang ia terima sehingga menjadikan bukti keampuhan metode yang diterapkannya itu.

Setelah itu, ia menemukan metode baru untuk menangani pasien stroke yang disebut dengan terapi çuci otak dan penerapan program Digital Substraction Angiogram (DSA).

5. Metode cuci otak Terawan

Melansir dari TribunJateng, Dokter Terawan menjelaskan metode 'cuci otak' itu secara ringkas sebenarnya adalah memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha penderita stroke.

Hal tersebut dilakukan untuk melihat apakah terdapat penyumbatan pembuluh darah di area otak.

Penyumbatan tersebut dapat mengakibatkan aliran darah ke otak bisa macet dan dapat menyebabkan saraf tubuh tidak bisa bekerja dengan baik.

Kondisi inilah yang terjadi pada penderita stroke.

Sumbatan tersebut melalui metode DSA kemudian dibersihkan sehingga pembuluh darah kembali bersih dan aliran darah pun normal kembali.

Cara membersihkan sumbatan pembuluh darah pun terdapat berbagai cara.

Mulai dari pemasangan balon di jaringan otak (transcranial LED) yang dilanjutkan dengan terapi.

Selain itu ada juga cara lain yaitu memasukkan cairan Heparin yang bisa memberi pengaruh pada pembuluh darah.

Cairan tersebut juga menimbulkan efek anti pembekuan darah di pembuluh darah.

"Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi cuci otak itu," jelas Terawan.

Terawan pun menyediakan dua lantai ruangan di RSPAD khusus untuk menangani pasien stroke bernama Cerebro Vascular Center (CVV).

Dikabarkan setiap hari ada sekitar 35 pasien yang melakukan perawatan di ruangan ini. Biayanya pun berkisar antara Rp 35 juta sampai Rp 100 juta per pasien.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas