Bagaimana Hukuman Pidana bagi Anak sebagai Pelaku Tindak Kejahatan? Ini Kata Ahli Hukum
Bagaimana hukuman pidana bagi pelaku tindakan kejahatan yang masih anak-anak? Begini penjelasan dari ahli hukum.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini, sejumlah kasus pidana melibatkan anak di bawah umur muncul ke publik.
Bahkan, dalam beberapa kasus, pelakunya masih kategori anak di bawah umur.
Lantas, bagaimana pemberlakuan hukuman pidana bagi pelaku yang masih di bawah umur?
Dyah Liestriningsih, ketua Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Peradi Solo menyebut penjatuhan sanksi pidana pada pelaku yang masih kategori anak-anak, harus memperhatikan dua undang-undang (UU).
Di antaranya, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Baca juga: Ribuan Advokat DPN Indonesia dapat Kemudahan Punya Kantor Premium dan Mewah
Dalam hal ini, anak masih dianggap tak cakap hukum dan mental.
Menurutnya, kategori anak sebagai pelaku tindak pidana dibatasi usia minimal 12 tahun dan maksimal 21 tahun.
"Bahwa yang dikategorikan sebagai pelaku kejahatan untuk anak, dibatasi pada usia. Jadi, usia setelah 12 tahun, kemudian menginjak sebelum 18 tahun."
"Sesudah 18 tahun, tapi sebelum 21 tahun," ucapnya dalam program Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (24/5/2021).
Namun beda halnya, jika anak di bawah kisaran umur tersebut sudah menikah.
Baca juga: Anggota DPR Beberkan Dasar Hukum Penggunaan Pelat Kendaraan Khusus DPR
Maka, pelaku termasuk ke dalam kategori dewasa.
"Kalau misalnya, usianya masih di bawah 18 tahun tapi sudah menikah."
"Itu termasuk bukan lagi anak-anak, tapi sudah dianggap dewasa," lanjutnya.
Dyah mengatakan, sistem peradilan anak akan mengedepankan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif, kata Dyah, yakni keadilan yang mengedepankan penyelesaian yang terbaik untuk anak.
Baca juga: Bagaimana Cara Mendapatkan Hak Asuh Anak ketika Bercerai? Begini Kata Advokat
"Keadilan restorative, artinya keadilan yang mengedepankan penyelesaian yang terbaik untuk keselamatan si anak, baik jiwanya apa kesejahteraan," kata Dyah.
Tujuannya, agar psikologis si anak tidak terganggu akibat kasus hukum yang didapatkannya.
"Untuk pemulihan kembali keadaan, psikologi anak sebelum mendapatkan musibah atau kasus hukum."
"Jadi, psikologinya tidak tersentuh oleh persoalan hukum di pengadilan," jelas advokat asal Solo itu.
Selain itu, peradilan anak juga mengenal adanya diversi, semacam penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Baca juga: Apa Saja Modus yang Dilakukan Pelaku Kasus Mafia Tanah? Begini Penjelasan dari Advokat
Seperti, mengadakan mediasi antara pihak korban dengan pelaku tindak pidana.
Dalam peradilan anak, dikenal adanya sanksi tindakan dan sanksi pidana bagi pelaku.
Keduanya merupakan kategori sanksi yang berbeda.
Dyah menjelaskan, bentuk sanksi tindakan seperti menyerahkan si anak ke Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Sementara, sanksi pidana bisa berupa denda.
Baca juga: Bagaimana Cara Pembagian Warisan jika Pewaris Menikah Lagi? Berikut Penjelasan Advokat
"Sanksi pidana itu biasanya berupa hukuman denda," kata Dyah.
Hukuman badan seperti pidana penjara hampir tak diberlakukan.
Melihat saat ini, beberapa peradilan lebih mengedepankan upaya pendidikan ke si anak.
"Setelah munculnya UU Perlindungan keputsan peradilan menghindari penjantuhan hukuman badan."
"Biasanya hanya denda atau lebih mengarah kepada pendidikan," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Shella)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.