Jusuf Wanandi Justru Berceramah Soal Soeharto pada Perwira Interogator
Jusuf Wanandi pernah terseret kasus Partai Rakyat Demokratik (PRD) di saat Soeharto berkuasa. Uniknya, sang interogrator balik diceramahi.
Penulis: Febby Mahendra
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM - MENJELANG reformasi 1998, situasi politik dan keamanan di tanah air memanas. Satu di antaranya adalah adanya ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi, Jakarta, 18 Januari 1998.
Peristiwa itu menyeret sejumlah tokoh, di antaranya pengusaha Sofjan Wanandi dan kakaknya, Jusuf Wanandi. Nama mereka tertera dalam surat elektronik (email) anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang tersimpan di komputer di lokasi kejadian.
Dalam surat elektronik itu terkesan Sofjan dan Jusuf Wanandi merupakan penyumbang dana kegiatan organisasi yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru Soeharto tersebut. Seorang pemuda anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang tak lain anak organisasi PRD, ditangkap Polda Metro Jaya di lokasi kejadian. Ia menyebut bom itu dibuat oleh PRD, yang saat itu menjadi organisasi terlarang.
Jusuf Wanadi menceritakan bagaimana ia menjalani interogasi di kantor Polisi Militer ABRI, kawasan Jl Guntur, Jakarta, pada Februari 1998. “Saya dimintai keterangan oleh anak-anak muda yang sopan dan tidak tahu identitas saya,” kata pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think-tank semasa Orde Baru.
Jusuf mengatakan ada orang meletakkan dokumen dan e-mail yang menyatakan ia dan adiknya, Sofjan Wanandi, memberikan dukungan dana untuk revolusi anti-Soeharto. Padahal ia mengaku tidak mengenal sama sekali kelompok itu (PRD).
“Saya tidak punya bukti siapa yang mencoba menyeret kami ke kejadian bom itu, tapi kami punya firasat,” tambah Jusuf Wanandi, dalam buku ‘Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998’ karya Jusuf Wanandi, Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Februari 2014.
Jusuf pernah diinterogasi Deputi Kepala Intelijen Militer, Zacky Anwar Makarim. Kemudian menjalani interogasi oleh polisi militer, dan polisi. Menurutnya, para interogator itu semua masih muda usia dan tidak berani berbuat kasar.
“Bapak tahu ini masa yang sulit . Ini tuduhan yang dilemparkan kepada Bapak. Apa pendapat Bapak? Apa jawaban Bapak,” ujar Jusuf Wanandi menirukan perkataan penyidik.
Pembicaraan dengan Zacky Anwar Makarim berlangsung secara bersahabat. Sedangkan dengan polisi militer berlangsung lebih seru karena Jusuf Wanandi justru berceramah dan menceritakan kembali perannya pada era 1965-1967 yang membawa Soeharto ke tampuk pemerintahan menggantikan Presiden Soekarno.
“Mengapa Anda beranggapan saya melawan Soeharto? Tahukah Anda, saya membantu agar Soeharto menjadi presiden? Di mana Anda pada 1965? Sudah tamat sekolah dasar apa belum? Saya ketika itu berada dalam kelompok yang bersama Soeharto menyusun bagaimana harusnya melawan Orde lama. You tahu itu?”
Baca juga: Gigitan Semut Bikin Sintong Panjaitan Lolos dari Tembakan Pemberontak Papua
Terlambat ke jamuan makan siang
Begitu gaya Jusuf Wanandi yang pada era pemberontakan PKI berstatus sebagai tokoh mahasiswa pendukung Soeharto, ketika memberikan ceramah kepada personel polisi militer berpangkat mayor, letnan kolnel, dan kolonel tersebut.
Selama beberapa jam para perwira polisi militer itu duduk mendengarkan ceramah Jusuf Wanandi. Tak pelak pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 15 Desember 1937 itu, tak lagi mendapat pertanyaan dari polisi militer.
Namun setelah rehat, polisi militer kembali mengajukan pertanyaan sehingg alumnus Universitas Indonesia (UI) tersebut marah. “Bukankah saya sudah menjelaskan, ia (Soeharto) tidak mungkin menjadi presiden karena tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Soekarno waktu itu. Tidak apapun! Ia hanya kutu, tidak berarti apa-apa dibandingkan Soekarno. Kalau bukan kami ujung tombak pasukannya, ia tidak bisa berkutik,” kata Jusuf Wanandi kepada para penyidik militer.