Muhammadiyah: Kebijakan PPN Bidang Pendidikan Bertentangan dengan Konstitusi
Seharusnya pemerintah yang harus bertanggungjawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk penyediaan anggaran 20 persen.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Dewi Agustina
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan penolakan terhadap rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada jasa pendidikan.
"Muhammadiyah dengan tegas menolak dan sangat berkeberatan atas rencana penerapan PPN untuk bidang pendidikan sebagaimana draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan," ujar Haedar yang disiarkan laman Muhammadiyah, Sabtu (12/6/2021).
Menurut Haedar, seharusnya pemerintah yang harus bertanggungjawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk penyediaan anggaran 20 persen.
Menurutnya, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan dari agama lain seharusnya mendapatkan penghargaan dalam bidang pendidikan.
"Bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan. Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan," tutur Haedar.
Haedar menilai rencana penerapan PPN bidang pendidikan sangat bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemerintah, termasuk Kemenkeu, dan DPR, kata Haedar, semestinya memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela.
Baca juga: Hetifah Tolak Tegas Wacana PPN di Dunia Pendidikan
"Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan yang nantinya akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil," kata Haedar.
Peran lembaga pendidikan tersebut, menurut Haedar, telah ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata.
Haedar menilai jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, maka yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi.
"Sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan," ungkap Haedar.
"Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," tambah Haedar.
Padahal, menurutnya, saat ini beban pendidikan Indonesia sangatlah tinggi dan berat, terlebih di era pandemi Covid-19.
Di daerah-daerah 3T bahkan pendidikan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan, yang belum terdapat pemerataan oleh pemerintah.
Baca juga: Tak Cuma Sembako, Sekolah Juga Bakal Dikenakan PPN, dari PAUD hingga Bimbel
Pendidikan Indonesia, kata Haedar, juga semakin berat menghadapi tantangan persaingan dengan negara-negara lain, di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah.
"Kini mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat. Di mana letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?" tutur Haedar.
Dirinya mengajak para anggota DPR dan elite partai politik agar bersatu menolak draf PPN di bidang pendidikan sebagai wujud komitmen pada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa, persatuan, dan masa depan pendidikan Indonesia.
"Lupakan polarisasi politik dan kepentingan politik lainnya demi menyelamatkan pendidikan Indonesia yang saat ini sarat beban, sekaligus menyelamatkan Indonesia dari ideologi liberalisme dan kapitalisme yang mendistorsi konstitusi, Pancasila, dan nilai luhur keindonesiaan," katas Haedar.