Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

UU KUHP Harus Segera Disahkan, Sudah Bikin 76 Tahun Rakyat Hidup dalam Ketidakpastian

Sejak kemerdekaan, KUHP warisan kolonial Belanda telah berkembang secara masif dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana. 

Editor: Choirul Arifin
zoom-in UU KUHP Harus Segera Disahkan, Sudah Bikin 76 Tahun Rakyat Hidup dalam Ketidakpastian
Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Omar Sharif Hiariej 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Omar Sharif Hiariej menjelaskan, saat ini yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah rekodifikasi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Rekodifikasi, kata Eddy, pasal-pasal yang semula ada dalam KUHP, dikeluarkan dari KUHP, kemudian kembali dihimpun, dikumpulkan, dan dimasukan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 

Sejak kemerdekaan, kata dia, KUHP warisan kolonial Belanda telah berkembang secara masif dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana. 

Perkembangan tersebut, kata dia, berkaitan erat dengan hukum pidana murni maupun pidana administrative, terutama mengenai tiga permasalahan utama dalam hukum pidana sebagaimana ditulis dalam buku The Limits of Criminal Sanction.

Tiga hal tersebut yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act) perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment) ataupun tindakan (threatment). 

Baca juga: Wamenkumham: Draf RKUHP 2021 Belum Dibagi ke DPR Sehingga Belum Berani Tampilkan Ke Publik

Menurutnya, rekodifikasi KUHP yang tengah digarap pemerintah dan DPR mendesak untuk segera disahkan karena selama hampir 76 tahun masyarakat Indonesia hidup dengan KUHP yang tidak pasti.

Baca juga: Pembahasan RKUHP Butuh Pelibatan Masyarakat Sipil Secara Terbuka

Hal tersebut disampaikannya dalam Keynote Speech pada Diskusi Publik RUU KUHP yang digelar Kemenkumham RI di Jakarta Selatan pada Senin (14/6/2021).

Berita Rekomendasi

"Sebab, kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti. Padahal, bapak-ibu tahu persis, bahwa KUHP yang berlaku di ruang-ruang sidang pengadilan itu telah dipakai untuk menghukum bukan satu-dua orang, bukan puluhan-ratusan-atau ribuan orang."

"Tetapi jutaan orang dihukum dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti. Saya berani mengatakan bahwa KUHP yang dipakai itu adalah yang tidak pasti," kata Eddy.

Baca juga: Mahfud Sebut 3 Hal yang Menjadi Penyebab Perdebatan Mengenai KUHP

Eddy mengatakan hal itu karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, hanya menyatakan berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan bahwa segala badan yang ada dan segala peraturan masih tetap berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 

"Sehingga yang berlaku sejak Januari 1918 adalah adalah (KUHP Belanda), tetapi pemerintah tidak pernah menetapkan KUHP yang mau dipakai itu yang mana, apakah terjemahannya Moeljatno ataukah terjemahannya Soesilo," kata Eddy.

Eddy mengatakan, ada perbedaan-perbedaan terjemahan yang sangat signifikan yang tidak pernah disadari antara kedua terjemahan tersebut.

Ia mencontohkan Pasal 110 KUHP tentang permufakatan jahat. 

Dalam KUHP yang diterjemahkan Moeljatno, lanjut Eddy, dikatakan permufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan itu dilakukan. 

Dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, kata dia, itu berarti pidana mati. Kemudian ia membandingkannya dengan Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan oleh Soesilo. 

Soesilo, lanjut dia, mengatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun. 

"Ini perbedaan sangat signifikan. Satu pidana mati, saru enam tahun. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," kata Eddy. 

Contoh lain, lanjut dia, ada pada pasal 362 KUHP yang berbunyi “barang siapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya punya orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.” 

Secara melawan hukum itu, kata dia, Moeljatno menerjemahkan kata yang dimaksud sebagai melawan hukum. Namun Soesilo, kata dia, menerjemahkannya bukan melawan hukum melainkan melawan hak. 

"Melawan hak termasuk di dalam melawan hukum. Tetapi melawan hukum tidak hanya melawan hak. Jadi, hal-hal kecil seperti ini itu menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.

Dengan demikian, kata Eddy, jika kita menunda KUHP untuk disahkan berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin masyarakat tetap berada dalam ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti. 

Pendapat Mahfud MD

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud pun mendorong agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru segera disepakati secara demokratis.

Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan perdebatan-perdebatan mengenai KUHP baru buatan anak bangsa tidak kunjung disepakati.

Pertama, kata dia, kemajemukan bangsa Indonesia yang menyebabkan akar-akar pikiran masyarakat Indonesia sering berbeda-beda dalam menyikapi suatu isu. 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam Jakarta pada Selasa (8/6/2021).
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam Jakarta pada Selasa (8/6/2021). (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Ia mencontohkan, dalam hukum adat ada 19 lingkungan hukum adat yang setiap satu lingkungan hukumnya memiliki turunannya. 

Di situlah, kata dia, proses agregasi untuk merumuskan apa yang disebut hukum nasional memang lama meskipun tetap harus diputuskan.

Kedua, kata dia, ada pertentangan yang hampir tidak pernah selesai antara universalisme dan partikularisme. 

Perdebatan tersebut, pandangan terbelah dua antara mereka yang menilai hukum harus berlaku universal dan mereka yang menilai hukum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Ia menjelaskan, meskipun beberapa perdebatan terkait hal itu sudah diselesaikan namun dari 14 substansi RUU KUHP yang menimbulkan polemik, masih ada sejumlah permasalahan yang bersumber dari perdebatan antara universalisme dan partikularisme tersebut 

Ketiga, pemberlakuan KUHP Belanda yang terlalu lama sebagai sumber hukum sementara.

"Tapi kalau pelan-pelan lebih dari 60 tahun menurut saya, berbicara sebuah hukum itu terlalu berlebihan. Oleh sebab itu mari sekarang kita segera cari resultante baru, toh sudah ada instrumen hukum," kata Mahfud dalam acara yang sama. (gita/tribunnetwork/cep)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas