Teatrikal di KPK, Aktivis Serukan #PekanMelawan dan Desak Jokowi Pecat Firli Bahuri
mahasiswa, bersama gerakan #BersihkanIndonesia menggelar teatrikal di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta Jakarta untu
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rangkaian dimulainya #PekanMelawan atau week of resistance, sejumlah lembaga mahasiswa, bersama gerakan #BersihkanIndonesia menggelar teatrikal di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta Jakarta untuk menghadang rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mewarisi kematian KPK, Senin (28/6/2021) ini.
Aksi ini sekaligus menyerukan kepada rakyat Indonesia yang jengah dengan pemerintahan oligarki untuk terus lantang menyuarakan bahwa korupsi adalah musuh utama bangsa.
Dalam aksi itu, seorang aktivis mengenakan kostum karakter Thanos sebagai simbol penghancur KPK.
Jurubicara #BersihkanIndonesia dari Greenpeace Indonesia, Asep Komaruddin, kepada Tribunnews.com menjelaskan bahwa Thanos merupakan representasi dari oligarki yang memiliki kuasa di atas Ketua KPK Firli Bahuri.
"Itu (Thanos) lebih ke Oligarki yang memiliki kuasa di atas FB (Firli Bahuri)," katanya.
Para aktivis menjejerkan kasus-kasus korupsi mangkrak yang melibatkan aktor utama di partai politik.
Kasus korupsi itu membentang dari sektor pertambangan (minerba), kehutanan dan sumber daya alam, KPK, hingga bantuan sosial Covid-19 dan ekspor benur.
Asep mengatakan, represi di zaman Presiden Jokowi semakin merajalela bahkan di tengah pandemi Covid-19 yang mencekik rakyat.
Baca juga: KPK Hitung Kerugian Negara di Kasus Korupsi Jasindo dengan Menggandeng BPKP
Puncak represi itu justru dilakukan pada KPK yang merupakan amanah reformasi dengan merevisi undang-undangnya dan memecat puluhan penyidik.
Ia melanjutkan, meski rakyat, akademisi, mahasiswa, buruh, dan tokoh agama di negara ini telah memperingatkan dengan suara lantang, namun Jokowi memilih diam dan itu berarti setuju “pembunuhan” lembaga antirasuah itu.
Kata Asep, pelemahan lembaga antirasuah di era pemerintahan Jokowi sudah terlihat jelas sejak Oktober 2019, ketika revisi UU KPK disahkan.
Kala itu, meskipun memicu sejumlah aksi penolakan masif di berbagai daerah termasuk Jakarta, UU tersebut tetap disahkan.
Usaha pelemahan ini, dikatakannya, kemudian semakin nyata dengan diangkatnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, padahal Firli pernah dinyatakan melanggar kode etik ketika menjabat sebagai Deputi Direktur Penindakan KPK.
“Upaya pelemahan KPK ini, akan semakin memperburuk integritas KPK sebagai lembaga antikorupsi di negeri ini. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan khususnya yang berkaitan dengan alih fungsi lahan akan semakin menjadi-jadi, karena salah satu celah korupsi adalah saat kepala daerah memberikan atau memperpanjang izin kepada perusahaan untuk membuka lahan, ini merupakan bagian dari praktek state capture corruption,” kata Asep.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Leon Alvinda Putra, mengatakan survei yang dilakukan oleh indikator menunjukkan jika mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat.
Terlebih hasil survei tersebut dapat menunjukkan realita yang terjadi saat ini.
Kata Leon, jika menyampaikan pendapat yang mengkritik pemerintah melalui sosial media, maka UU ITE siap mengancam.
Lantas jika menyuarakan pendapat melalui aksi, represifitas dari aparat kepolisian sulit untuk dihindari.
“Bahkan kini kebebasan berpendapat di kampus kerap diberangus. Pola-pola seperti ini tidak boleh dibiarkan, pembungkaman berekspresi tidak boleh mendapatkan tempat di negara demokrasi. Pembungkaman ekspresi yang terjadi di kampus-kampus, sosial media, hingga demonstrasi adalah bentuk penurunan kualitas demokrasi. Jika negara tidak kunjung memperbaiki, maka hanya ada satu kata, Lawan!” kata Leon.
“Mereka memperlakukan orang yang berdemonstrasi layaknya penjahat, seakan-akan demonstrasi merupakan tindakan terlarang. Jika menyampaikan aspirasi merupakan tindakan kriminal, lalu dengan cara apa penguasa dapat mendengar?” ujar Rinaldi, Koordinator BEM se-Kalsel menambahkan.