Wakil Ketua Komisi IX DPR Heran Pemerintah Tak Pilih Lockdown: Uangnya Ada, tapi Tidak Digunakan
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI-P, Charles Honoris heran pemerintah tak pilih lockdown, ungkap adanya anggaran tapi tidak digunakan.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI-P, Charles Honoris mengaku heran dengan pilihan pemerintah yang tidak mau menerapkan lockdown.
Terlebih, alasan pimpinan daerah yang menyebut tidak adanya anggaran jika menerapkan lockdown.
Hal ini disampaikan Charles dalam diskusi bersama Najwa Shihab pada Rabu (30/6/2021) malam.
"Saya tidak pernah bisa menerima alasan bahwa kita tidak punya anggaran untuk mengambil keputusan yang paling tepat dalam menghentikan laju penularan Covid-19 di Indonesia," kata Charles, dikutip dari tayangan Youtube Najwa Shihab, Kamis (1/7/2021).
Baca juga: Ketua Satgas Covid-19 IDI: Skenario PPKM Darurat Lebih Masuk Akal
Padahal, Charles mengingatkan, sesuai amanat UUD 1945 alinea keempat, negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia.
Sehingga, dalam kondisi darurat Covid-19 seperti saat ini, seharusnya pemerintah memprioritaskan nyawa dari warga Indonesia.
"Negara wajib dan harus memprioritaskan nyawa dan keselamatan rakyat Indonesia, jadi prioritas nomor satunya adalah nyawa," ungkap Charles.
Lebih lanjut, Charles juga mengungkap adanya anggaran yang masih tersedia untuk penanganan Covid-19 di berbagai kementerian, dan di daerah.
Dalam laporan yang ia terima, anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) di daerah masih tersedia untuk penanganan Covid-19.
Ia pun menyayangkan anggaran tersebut justru minim penyerapannya.
"Anggaran DAU dan DBH, yang 8 persennya dialokasikan untuk penanganan Covid-19, ini penyerapannya rendah sekali."
"Dari Rp46,5 triliun yang direalokasi untuk penanganan Covid, di daerah penyerapannya sampai juni 2021 baru 23 persen," tutur Charles.
Baca juga: Pengusaha Nilai Kebijakan PPKM Darurat Perpanjang Masa Resesi Ekonomi
Charles pun menuturkan, penyerapan anggaran tersebut tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Tercatat, Provinsi Jawa Timur baru menyerap anggaran sebesar 13,39 persen.
Kemudian, Provinsi Jawa Tengah baru menyerap 9,3 persen, dan Provinsi Jawa Barat baru menyerap sekira 14 persen.
"Ini sangat tidak sesuai harapan, artinya uangnya ada, tapi tidak diserap atau tidak digunakan," terang Charles.
Bahkan, catatan tersebut belum termasuk anggaran di tingkat nasional.
Charles menyebut, anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp699,43 triliun baru terserap 32 persen.
Sementara untuk sektor kesehatan, anggaran sebesar Rp172,84 triliun baru terserap sekira 22,9 persen.
"Jadi kalau alasan anggaran tidak ada, saya tidak bisa terima, negara harus mencari cara untuk memastikan keselamatan rakyat," ungkapnya.
Kendati demikian, Charles tetap menyambut baik rencana penerapan PPKM darurat di Jawa-Bali pada 3-20 Juli mendatang.
"Kami menyambut baik untuk memberlakukan PPKM darurat."
"Idealnya memang ini harus dilakukan mengingat pulau Jawa zona merahnya sudah banyak sekali," pungkasnya.
Rencana Penerapan PPKM Darurat
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat akan diterapkan di wilayah Pulau Jawa dan Bali.
Hal itu disampaikannya saat memberi sambutan di pembukaan Munas Kadin di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (30/6/2021).
"Hari ini ada finalisasi kajian untuk kita melihat karena lonjakan sangat tinggi, dan kita harapkan selesai karena diketuai Pak Airlangga, Menko Ekonomi untuk memutuskan diberlakukannya PPKM Darurat," kata Jokowi, dikutip dari Tribunnews.
"Nggak tahu nanti keputusannya, apakah (berlaku selama) seminggu atau dua minggu. Karena petanya sudah kita ketahui semua."
Baca juga: Kirim Surat ke Jokowi, Muhammadiyah Minta Lockdown Wilayah Jawa Hingga Tiga Pekan
"Hanya khusus di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Karena di sini ada 44 kabupaten dan kota serta 6 provinsi yang nilai asesmennya 4," imbuhnya.
Mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu membeberkan alasan PPKM darurat hanya diterapkan di 6 provinsi dan 44 kabupaten/kota di Jawa dan Bali.
Ia menjelaskan, opsi itu dipilih pemerintah karena sudah terbukti dari pengalaman beberapa bulan lalu.
Hal itu ketika pembatasan diberlakukan, maka penurunan kasus corona juga terjadi.
Kemudian, ketika kasus corona turun, indeks kepercayaan konsumen (IKK) menjadi naik.
"Begitu pembatasan ketat dilakukan kemudian mobilitas turun, kasusnya ikut turun misalnya. itu indeks kepercayaan konsumen masih naik."
"Tetapi begitu kasusnya naik indeks kepercayaan konsumen pasti selalu turun," kata Jokowi.
Jokowi melanjutkan, kenaikan kasus juga mempengaruhi indeks penjualan ritel, tak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain.
Baca juga: Luhut Diragukan Pimpin PPKM Darurat, Legislator PDIP : Pak Luhut Sudah Teruji Soal Kepemimpinan
Contohnya, kata Jokowi, seperti kondisi di Thailand.
Oleh sebab itu, tak ada opsi lain selain memberlakukan kebijakan yang bisa menurunkan kasus corona di Indonesia.
"Begitu ada penambahan kasus harian, indeks penjualan ritelnya juga pasti turun. Di Thailand juga sama, ada penambahan kasus harian, naik, indeks penjualannya pasti turun."
"Oleh sebab itu, kebijakan PPKM darurat ini mau tidak mau harus dilakukan karena kondisi kondisi yang tadi saya sampaikan," ujar Jokowi.
(Tribunnews.com/Maliana, Tribun Network)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.