Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tuntutan Penjara 11 Tahun Mengecewakan, Febri Diansyah: Jauh Lebih Ringan Dari Hukuman Maksimal

Aktivis pemberantasan korupsi Febri Diansyah mengaku kecewa dengan keputusan jaksa yang menuntut mantan Menteri Sosial Juliari

Penulis: Hendra Gunawan
zoom-in Tuntutan Penjara 11 Tahun Mengecewakan, Febri Diansyah: Jauh Lebih Ringan Dari Hukuman Maksimal
Tribunnews/Irwan Rismawan
Terdakwa kasus korupsi Bansos Covid-19, Juliari Batubara berjalan usai mengikuti sidang tuntutan secara virtual dari Gedung Merah Putih KPK di Jakarta Selatan, Rabu (28/7/2021). Mantan Menteri Sosial tersebut dituntut 11 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Tribunnews/Irwan Rismawan 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Aktivis anti korupsi Febri Diansyah mengaku kecewa dengan keputusan jaksa yang menuntut mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dengan tuntutan penjara 11 tahun.

Seperti diberitakan sebelumnya, Jaksa KPK menuntut hukuman penjara terhadap mantan politikus PDI Perjuangan tersebut dengan kurungan penjara 11 tahun, denda Rp 500 juta dan hukuman tak boleh terjun ke dunia politik selama 4 tahun.

"Tuntutan KPK pada terdakwa korupsi Bansos Covid-19 yang hanya 11 tahun sangat mengecewakan," kata mantan juru bicara KPK tersebut dalam akun twitternya.

Menurutnya, ada jarak yang cukup jauh dari ancaman hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup.

Baca juga: Eks Mensos Dituntut 11 Tahun Penjara, Jaksa Minta Hak Politik Juliari Batubara Dicabut 4 Tahun

"Dan yang paling penting, dalam kondisi pandemi ini, tuntutan tersebut gagal menimbang rasa keadilan korban bansos covid-19," ucapnya.

Pernah Diwacanakan Hukuman Mati 

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej pernah bikin heboh saat dia berpendapat bahwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak dituntut dengan ancaman hukuman mati.

Berita Rekomendasi

Hal ini disampaikan Eddy Hiariej, sapaan Edward Omar Hiariej saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakkan Hukum di Masa Pandemi" yang ditayangkan secara daring di akun YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM, Selasa (16/2/2021).

"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK. Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Omar dalam acara tersebut.

Dulu KPK Buka Peluang Hukuman Mati

Pada Rabu 17 Februari 2021 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyatakan pihaknya tak menutup kemungkinan menjerat Juliari dengan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang 31Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Tak hanya Juliari, Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga disebut oleh KPK.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, tim penyidik lembaga antirasuah membuka kemungkinan mengembangkan kasus yang menjerat Juliari dan Edhy.

Bahkan, menurut Ali, Juliari dan Edhy juga bisa dijerat pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) sepanjang ditemukan alat bukti yang mencukupi.

"Pengembangan sangat dimungkinkan seperti penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, bahkan penerapan ketentuan UU lain seperti TPPU," kata Ali melalui keterangannya, Rabu (17/2/2021).

Ali mengatakan demikian sekaligus menanggapi pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej yang menyebut Juliari termasuk  Edhy Prabowo layak dituntut hukuman pidana mati. 

Menurut Ali, kemungkinan pidana mati tersebut bisa diterapkan tim penyidik kepada keduanya.

"Kami tentu memahami harapan masyarakat terkait penyelesaian kedua perkara tersebut, termasuk soal hukuman bagi para pelakunya. Benar, secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan," ujar Ali.

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."

Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

Ali mengatakan, dalam menuntut terdakwa kasus korupsi dengan pidana mati, tim penuntut umum harus bisa membuktikan seluruh unsur yang ada dalam Pasal 2 UU Tipikor tersebut.

"Akan tetapi bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur pasal 2 ayat (1) juga harus terpenuhi," kata Ali.

Perbuatan Ironis

Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan perbuatan eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sangat ironis.

Hal itu lantaran Juliari menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) di saat pandemi COVID-19.

JPU KPK Ikhsan Fernandi mengatakan, perbuatan Juliari merugikan masyarakat kecil yang terkena dampak ekonomi dari pandemi COVID-19.

Baca juga: Dituntut 11 Tahun di Kasus Korupsi Bansos Corona, Juliari Ajukan Nota Pembelaan

"Perbuatan terdakwa yang mengambil keuntungan dari pengadaan bansos sembako COVID-19 di Kementerian Sosial yang dipimpinnya ini merupakan perbuatan yang sangat tercela dan suatu ironi di tengah penderitaan," kata jaksa Ikhsan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (28/7/2021).

Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

Selain pidana badan, Juliari juga dituntut untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak Juliari selesai menjalani pidana pokoknya.

"Apalagi terdakwa selaku menteri sosial seharusnya mengawasi pengawasan bansos sembako yang diperuntukkan untuk masyarakat kecil agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," kata jaksa.

Baca juga: Jelang Tuntutan, Eks Mensos Juliari Ingin Dapat Tuntutan yang Adil

"Tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa ini tentu sangat memprihatinkan kita semua karena dalam kondisi perekonomian masyarakat yang sulit dan susah sebagai dampak meluasnya penyebaran pandemi COVID-19, di sisi lain ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dalam pelaksanaan bansos sembako dari pemerintah kepada masyarakat," imbuhnya.

Jaksa KPK berharap Juliari mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

"Tentunya kita berharap adanya keadilan dan hukuman yang setimpal kepada terdakwa atas perbuatan yang dilakukannya tersebut," ujar jaksa.

Dalam perkara ini, Juliari Batubara selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2020 menurut JPU KPK terbukti menerima uang sebesar Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja serta uang sebesar Rp29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain.

Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako.

Uang suap itu, menurut jaksa diterima dari Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Bansos Sembako Periode April-Oktober 2020 dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK Pengadaan Bansos Sembako COVID-19 Periode Oktober-Desember 2020.

Baca juga: Jaksa KPK Tuntut Hak Politik Juliari Dicabut, Bayar Denda Rp500 Juta dan Uang Pengganti Rp14,5 M

Uang fee sebesar Rp14,7 miliar, menurut JPU KPK, sudah diterima oleh Juliari dari Matheus Joko dan Adi Wahyono melalui perantaraan orang-orang dekat Juliari, yaitu tim teknis Mensos Kukuh Ary Wibowo, ajudan Juliari bernama Eko Budi Santoso, dan sekretaris pribadi Juliari Selvy Nurbaity.

Matheus Joko dan Adi Wahyono kemudian menggunakan fee tersebut untuk kegiatan operasional Juliari selaku Mensos dan kegiatan operasional lain di Kemensos seperti pembelian ponsel, biaya tes swab, pembayaran makan dan minum, pembelian sepeda Brompton, pembayaran honor artis Cita Citata, pembayaran hewan kurban hingga penyewaan pesawat pribadi.

Juliari bakalan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi pada Senin, 9 Agustus 2021.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas