Kembalikan Jati Diri dan Karakter Bangsa Melalui Penguatan Sikap, Perilaku yang Menjiwai Pancasila
Pancasila dijadikan dasar falsafah, ideology dan pandangan hidup wajib diaktualisasikan dalam proses dan produk UU serta kebijakan penyelenggaraan
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai negara kepulauan dengan keragaman suku, bangsa, budaya, agama secara geopolitik dapat menimbulkan banyak masalah dan tantangan.
Terlebih di era reformasi dimana muncul intoleransi, korupsi hingga narkoba dan kekerasan yang masih terus saja terjadi.
“Ini menunjukkan bahwa sebagian dari bangsa kita kehilangan jatidiri dan karakter kebangsaannya,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Panut Mulyono saat FGD bertema Tata Kelola Negara berdasarkan Paradigma Pancasila yang digelar secara virtual, Rabu (11/8/2021).
FGD tersebut menampilkan sejumlah narasumber yakni Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN), Prof Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof Eko Prasojo (Wakil Menteri PAN & RB), dan Prof Muradi (Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad).
Serial FGD itu sendiri diselenggarakan dalam rangka finalisasi buku dengan judul:“Kebangsaan yang Berperadaban: Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila.
Baca juga: Contoh Pengamalan Sila ke-5 Pancasila di Kehidupan Sehari-hari, Beserta Nilai-nilai Pancasila
Acara ini dirancang, selain untuk mendiskusikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam “uji sahih atau uji publik” agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.
Sebagai solusi, kata Panut bisa dilakukan melalui penguatkan kembali sikap dan perilaku dengan menjiwai Pancasila sehingga sebagai bangsa yang heterogen dapat mencapai kemajuan yang pesat sesuai cita-cita yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
Pancasila, kata dia harus menjadi dasar falsafah, ideology dan pandangan hidup wajib diaktualisasikan dalam proses dan produk perundangan serta kebijakan penyelenggaraan negara.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, walaupun para bapak bangsa telah berusaha membangun sistem ketatanegaraan yang diharapkan kompatibel bagi ke-Indonesiaan sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
"Bahkan seringkali mengalami kebuntuan politik dalam mencari format sistem yang tepat yang sesuai dengan kondisi obyektif bangsa yang heterogen (secara sosial-ekonomi, geografis) dan multikultural (secara ras, etnik, agama, budaya),' katanya.
Pontjo menyatakan, merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara tentu sangat penting.
"Ini agar Indonesia tidak salah urus dan menjadi negara gagal sebagaimana diperingatkan oleh para pemikir," katanya.
Namun, kata Pontjo, membangun kebangsaan (nation-building) juga sama pentingnya karena bangsa Indonesia justru ada sebelum Indonesia lahir sebagai nation-state.
“Hal ini perlu saya ingatkan, karena hari ini, kita seperti menemukan fenomena tidak padunya antara kebutuhan untuk mengukuhkan kebangsaan melalui nation – building, dengan kebutuhan akan penguatan negara melalui state-building,” kata Pontjo.