ICW Beberkan 4 Bentuk Represi yang Dihadapi Ketika Jalankan Mandat Pengawasan Masyarakat Sipil
Kurnia Ramadhana membeberkan empat bentuk represi yang pernah dihadapi pegiat ICW ketika menjalankan fungsi pengawasan dari sisi masyarakat sipil
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
Contoh ketiga, kata dia, adalah somasi yang dikirim oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko kepada peneliti ICW Egi Primayoga yang memaparkan data terkait dengan dugaan konflik kepentingan saat peredaran obat Ivermectin.
Dalam somasi tersebut, kata dia, disampaikan bahwa ada rencana, jika ICW tidak meminta maaf akan dilanjutkan ke proses hukum menggunakan laporan kepolisian.
Salah satu rekan, kata dia, menyampaikan kepada ICW bahwa hal itu tidak bisa diproses hukum lebih lanjut karena basisnya adalah penelitian.
Di sisi lain, dalam surat keputusan bersama antara Menkominfo, Kejaksaan Agung, dan Kapolri disebutkan bahwa kalau basisnya adalah penelitian, pendapat, kajian, tidak bisa dipidana menggunakan UU ITE pas 27 ayat 3.
"Itu merupakan satu produk yang mestinya dapat dipahami oleh pejabat publik kita, termasuk dalam konteks ICW, adalah Pak Moeldoko," kata dia.
Kemudian bentuk represi kedua yang dihadapi ICW adalah serangan fisik ketika ICW mengadvokasi rekening gendut Perwira Tinggi Polri.
Salah satu mantan staf ICW Tama S Langkun, kata dia, sempat mendapatkan serangan fisik.
Namun, kata Kurnia, lagi-lagi tidak ada penyelesaian yang jelas.
"Pelakunya sampai detik ini tidak ditemukan padahal sudah 9 sampai 10 tahun lalu kejadian tersebut. Dan ini menjadi penanda bahwa negara tidak menjamin keamanan dari kita semua yang bekerja untuk mengeluarkan kajian, penelitian, mengingatkan pemerintah terkait potensi-potensi korupsi," kata dia.
Bentuk represi ketiga yang dihadapi ICW adalah serangan hacker atau peretas.
Kurnia mengatakan serangan itu misalnya terjadi saat ICW mengadvokasi terkait revisi UU KPK, advokasi Calon Pimpinan KPK, advokasi Tes Wawasan Kebangsaan KPK.
Sejumlah peneliti ICW, kata dia, menjadi korban serangan digital tersebut.
"Email kami sempat hilang. Akun-akun media sosial, Facebook, dan lain sebagainya, platform chat misalnya Whats App, Telegram, itu berkali-kali dimasuki oleh para peretas tersebut," kata Kurnia.
Bentuk represi keempat, kata dia, adalah serangan pendengung atau buzzer.