Akademisi Prof Ali: Amandemen Terbatas UUD 1945 Tak Miliki Urgensi
Wacana amandemen terbatas UUD 1945 yang digaungkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo tampaknya akan menemui jalan terjal.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana amandemen terbatas UUD 1945 yang digaungkan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo tampaknya akan menemui jalan terjal.
Sejumlah kalangan masyarakat mulai menunjukkan penolakan. Termasuk akademisi dari FISIP UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Prof. Ali Munhanif yang mempertanyakan tingkat urgensi amandemen tersebut.
Menurut Ali, tantangan politik dan ekonomi bangsa sangat berat, setidaknya hingga lima tahun ke depan. Sehingga fokus Indonesia akan lebih baik diarahkan kepada dua ranah tersebut.
“Tidak ada urgensinya melakukan amandemen UUD, apalagi hingga 5 tahun mendatang agenda kenegaraan kita ke depan akan fokus pada menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memastikan politik yang kondusif dan stabil,” ujar Ali, kepada wartawan, Kamis (19/8/2021).
Ali menegaskan bahwa ekonomi Indonesia selama dua tahun terakhir terpukul hebat akibat pandemi. Sehingga elit dan pimpinan politik sebaiknya memiliki prioritas kerja pada mengembalikan ekonomi tumbuh sehat kembali.
Guru Besar Ilmu Politik ini menyatakan sebaiknya elit politik, termasuk pimpinan Parpol, menjaga sense kenegaraan yang tangguh, untuk tidak membuka wacana amandemen UUD. Karena hal itu akan memancing polemik hebat dan bisa dimanfaatkan secara liar di luar wacana perubahan UUD yang terbatas tadi.
Meskipun wacana Ketua MPR itu bisa diterima dalam konteks dimungkinkannya mengubah UUD, momentum amandemennya itulah yang menjadi persoalan.
“Bukan soal tabu atau tidak, bukan kitab suci atau tidak, tetapi pertimbangkan urgensinya. Tidak ada satu krisis apapun yang bisa membernarkan UUD akan di-amandemen. Di negara manapun, selalu ada prasyarat politis, ekonomi maupun kebudayaan yang memberi kemungkinan terjadinya amandemen konstitusi. Nah, saat ini kita sudah berada di rel yang benar soal pelaksanaan demokrasi dalam presidensialisme. Kita perkuat itu saja," kata dia.
Baca juga: Demokrat: Wacana Amandemen UUD 1945 Sangat Tidak Bijaksana di Tengah Situasi Pandemi
Ali merujuk pada isu diperlukannya PPHN yang akan memberikan arah pembangunan, sebagaimana yang disinggung oleh Bambang Soesatyo.
Bagi Dekan FISIP UIN Jakarta ini semestinya Ketua MPR menyadari bahwa dengan menganut presidensialisme yang dipilih secara langsung oleh rakyat, institusi semacam PPHN atau GBHN atau bahkan istilah Demokrasi Terpimpin, tidak ada lagi.
Menurutnya, GBHN tidak diperlukan karena program-program pembangunan terukur dalam ajuan visi-missi presiden atau pemerintah. Karena pokok-pokok arah pembangunan melekat dalam visi dan missi presiden terpilih, yang sudah diuji pada waktu kampanye Pemilu.
Dalam konteks meluruskan cara berpikir konstitusi inilah Ali memperingatkan, amandemen yang mungkin terbatas pada PPHN akan memiliki implikasi perubahan kelembagaan dalam konstitusi. Dan jika itu terjadi, proses politiknya bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan secara liar.
“Misalnya, amandemen hanya sebatas dihidupkan Kembali PPHN atau GBHN. Tetapi begitu diuji secara public, akan muncul pertanyaan siapa Lembaga yang merumuskan PPHN? Berlaku berapa lama? Kepada siapa laporan PPHN harus disampaikan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus dibuka,” tegas Ali.
Bagi Ali, institusi seperti PPHN atau GBHN muncul dalam konteks tumbuhnya rezim otoriter di era pasca Perang Dunia II, baik rezim komunis maupun otoritarianisme militer.
“Ini warisan otoritarianisme pasca Perang Dunia. Di Timur Tengah, di Amerika Latin, Blok Timur, di Asia, semuanya begitu. Jadi, melekat dalam PPHN adalah watak politik otoriter di mana perumus PPHN adalah sebuah lembaga tertinggi negara, yang biasanya diatur segolongan elit—bisa partai bisa juga para jenderal—untuk mengarahkan pembangunan sesuai dengan ideologi rezim. Itu yang terjadi,” kata Ali.
“Kalau kita merencanakan menghidupkan kembali PPHN, maka yang harus dipikirkan adalah Lembaga apa yang melaksanakan, bagaimana prosesnya. Tentu yang paling krusial, di mana lalu posisi presiden yang telah terpilih oleh rakyat, dengan program-program pembangunan sebagaimana tertuang dalam visi dan misinya," imbuh Ali seraya mempertanyakan urgensi amandeman PPHN.
Dengan demikian, implikasi amandemen UUD yang dicanangkan oleh Bamsoet ini dinilai Ali tidak produktif, baik secara politis maupun kelembagaan negara.
"UUD 1945 sekarang ini sudah merupakan desain kelembagaan presidensialisme yang sistemik, konsisten dan koheren. Sekali saja konstitusi hasil reformasi ini diusik salah satu unitnya, bisa runtuh bangunan sistemnya. Kita harus memikirkan konsekuensi lanjutan dan tidak mungkin amandemen sebatas PPHN saja. Jangan sampai kita mewacanakan amandemen dengan mempertaruhkan kita tidak bisa mengontrol apa yang akan terjadi," tandasnya.