Pukat UGM: Juliari Dihina Masyarakat Bukan Termasuk Hal yang Bisa Meringankan Hukuman
Zaenur Rohman, kondisi meringankan berasal dari internal terdakwa, seperti misalnya terdakwa menyebut dirinya sebagai tulang punggung keluarga.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Selain itu, hakim menilai Juliari Batubara bersikap kooperatif.
"Selama persidangan kurang lebih 4 bulan, terdakwa hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," kata hakim pula.
Sementara, untuk hal memberatkan, majelis hakim menilai Juliari tidak ksatria alias pengecut.
Majelis hakim menyebut demikian lantaran Juliari tidak mengakui perbuatannya.
Bahkan, hal itu dimasukkan oleh majelis sebagai pertimbangan yang memberatkan pidana.
“Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan menyangkali perbuatannya,” kata hakim.
Selain itu, yang meberatkan juga, hakim menyebut perbuatan Juliari dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah COVID-19.
Dalam putusannya, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.
Ia juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Dalam perkara ini, Juliari selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, serta uang sebesar Rp29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain.
Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako.
Uang suap itu diterima dari Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako periode April-Oktober 2020, dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK pengadaan bansos sembako COVID-19 periode Oktober-Desember 2020.
Hakim menilai Juliari terbukti memerintahkan Matheus Joko dan Adi Wahyono untuk meminta commitment fee sebesar Rp10 ribu per paket kepada perusahaan penyedia sembako.
"Perbuatan terdakwa telah merekomendasikan dan mengarahkan perusahaan penyedia bansos sembako COVID-19 adalah bentuk intervensi, sehingga tim teknis tidak bisa bekerja normal dan tidak melakukan seleksi di awal proses, meski perusahaan tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyedia," ungkap anggota majelis Joko Subagyo.