Perempuan Disebut sebagai Tulang Punggung Konservasi Alam Papua
Peneliti di Universitas Papua Yustina Lina Dina Wambrauw, menyebut tulang punggung konservasi alam di Papua adalah perempuan atau para mama.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti di Universitas Papua Yustina Lina Dina Wambrauw, menyebut tulang punggung konservasi alam di Papua adalah perempuan atau para mama.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) bekerja sama dengan The Asia Foundation (TAF) ini, Yustina menjelaskan perempuan Papua memiliki kedekatan yang erat dengan hutan.
Baca juga: 2 KKB Papua Paling Berbahaya, Ada yang Pemimpinnya Masih Berusia 20-an
Keseharian para mama Papua, kata Yustina, adalah pergi ke hutan mencari bahan makanan dan kemudian memasaknya di dapur.
“Perempuan adalah sosok yang karenanya makanan akan selalu ada untuk keluarga. Mereka akrab dengan hutan. Perannya bergantung pada apa yang dihasilkan hutan, yang karena inilah mereka akan selalu menjaga kelestarian hutan,” ujar Yustina, dalam podcast bertajuk 'Perempuan Hutan Lestari di Tanah Papua', Rabu (25/8/2021).
Baca juga: Gandeng Pelaku Usaha, Program PAPeDA Kenalkan Produk Pangan Inovatif Papua
Selain itu, lanjut Yustina, jika dilihat dari kacamata bahwa perempuan memiliki tiga peran yang mencakup domestik, lingkungan, dan sosial. Maka dapat dikatakan bahwa perempuan di Papua sebenarnya mendapatkan peran ganda.
“Iya, satu sisi mereka harus membantu pekerjaan suami dan di sisi lain, mereka harus selalu bisa menyelesaikan tugasnya, yaitu mencari bahan makanan di hutan dan memasaknya untuk keluarga,” kata Yustina.
Melihat potret tersebut, Yustina menyayangkan satu hal. Menurut Yustina kendati para mama itu setiap hari ke hutan, bahkan merasa bagian darinya, mereka masih disepelekan.
“Mereka kerap tidak anggap, suaranya tidak didengar, hanya karena tidak berpendidikan, padahal merekalah sebenarnya yang lebih mengenal hutan Papua. Yang idenya pasti lebih genuine dibanding yang di universitas sekalipun,” tegas Yustina.
Komitmen Pemerintah
Sementara itu, dalam seri ke-1 sesi Podcast Kolaborasi Pasar Produk Pangan Papua yang merupakan bagian dari Festival Torang Pu Para Para ini, Martha Mandosir selaku Analis Kebijakan di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Papua menyampaikan bahwa pemerintah sudah menurunkan berbagai dukungan untuk program hutan lestari.
Dukungan tersebut mencakup konservasi sumber daya alam, budi daya sagu, perikanan, dan sebagainya yang semua itu dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Meski demikian, Martha mengakui masih banyak kelemahan dari pemerintah terkait hal itu.
“Tapi, kami masih lemah dalam menyiapkan regulasi yang mendukung aktivitas perempuan untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Lemah di fasilitas. Fasilitas sebenarnya ada, tetapi tidak sesuai dengan yang mereka butuhkan,” terang Martha.
“Soal pelayanan, kami juga masih butuh banyak perbaikan. Intinya, dibanding kekayaan Papua ini, dari pemerintah masih banyak sekali hal yang harus diupayakan,” imbuhnya.
Martha membeberkan pula rencana pemerintah untuk mulai menggenjot dipakainya paradigma baru dalam mengelola hutan.
Paradigma tersebut adalah bagaimana mengurangi hasil kayu dari hutan dan meningkatkan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan.
Itu penting, tegas Martha, sebab hanya dengan begitu hutan Papua bisa lestari, ekosistem terjaga, keragaman hayati di dalamnya terhindar dari kepunahan, dan yang jelas akan meningkatkan jasa lingkungan.
“Untuk ini, target kami adalah 20 persen untuk hasil kayu dan 80 persen untuk hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan,” pungkas Martha.