Pimpinan KPK Disebut Tak Satu Suara Soal TWK, Istilah Seleksi Muncul di Detik-detik Akhir
Lima pimpinan KPK disebut tak satu suara terkait kesimpulan tes wawasan kebangsaan (TWK).
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut tak satu suara terkait kesimpulan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan dalam rangka alih proses pegawai antirasuah menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM Bidang Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, M Choirul Anam.
Dia menyebut perbedaan pendapat itu terjadi saat KPK menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat bersama sejumlah lembaga lain, seperti BKN, Kemenpan-RB, dan Kemenkumham pada 25 Mei lalu.
"Ketika rapat di situ kami mendapat keterangan, asesor ngotot. Sehingga internal KPK merespons itu. Internal KPK itu tidak semuanya, dari lima pimpinan, tidak semuanya dalam satu suara," kata Anam dalam diskusi daring di YouTube YLBHI, Minggu (29/8/2021).
Anam tak menyebut siapa pimpinan yang berbeda pendapat soal hasil TWK berujung penonaktifan 75 pegawai tersebut.
Diketahui, lima pimpinan KPK masing-masing yakni, Firli Bahuri selaku Ketua.
Baca juga: Terkait TWK, Pegawai KPK Sebut Pernah Didatangi 2 Orang yang Ngaku dari Kemendagri
Lalu ada empat pimpinan lain yakni, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar.
Lebih lanjut, Anam menyatakan dalam rapat bersama pada 25 Mei, asesor memang yang kemudian menentukan 24 dari 75 pegawai dinyatakan bisa kembali bergabung dengan KPK lewat Diklat bela negara.
Sedangkan, 51 lainnya dinyatakan berwarna merah dan dipastikan bakal mundur dari KPK per awal November mendatang.
Menurut Anam, kala itu asesor yang berasal dari sejumlah lembaga di luar KPK, ngotot agar 51 pegawai keluar dari komisi antirasuah.
Walhasil, sejumlah pimpinan yang semuanya hadir dalam rapat berbeda pendapat.
"Jadi, asesor ini yang menentukan walaupun katanya ada forum. Pada 25 Mei, pimpinan KPK dan pimpinan beberapa lembaga lain, ketika merespons arahan presiden rapat lagi. Tapi ketika rapat di situ kami mendapat keterangan, asesor ngotot," kata Anam.
Anam menambahkan pihaknya telah menyusun kronologi ketat sebelum menyimpulkan TWK telah melanggar 11 hak asasi manusia dan menjadi proses seleksi, alih-alih hanya menjadi catatan administratif internal lembaga.
Baca juga: Pasca Temuan Komnas HAM Terkait Polemik TWK, Eks Pimpinan KPK: Kepercayaan Publik akan Sangat Rendah
Padahal, kata dia, para ahli telah menyarankan agar TWK mestinya cukup hanya menjadi catatan internal.
Sebab, di sisi lain, para pegawai kala itu juga tak memiliki pilihan, karena TWK adalah amanat undang-undang.
Hal itu dibenarkan salah satu penyelidik KPK yang gagal dalam TWK, Rieswin Rachwell.
Rieswin mengakui para pegawai sejak awal tak diberi arahan bahwa TWK akan menjadi proses seleksi.
Hingga November 2020, atau beberapa bulan sebelum TWK, ia memastikan tak ada ayat dalam peraturan KPK yang mengatur soal TWK.
Peraturan TWK belakangan muncul pada 27 Januari 2020, dalam peraturan yang diterbitkan KPK.
Namun, hingga saat itu, tak ada pula pegawai yang mengetahui konsekuensi dari pelaksanaan TWK.
"Tidak ada juga yang mengetahui apa konsekuensinya jika tes ini dilaksanakan. Apakah ada yang lulus atau tidak lulus, apakah ada yang akan diberhentikan jika dia tidak lulus itu tidak ada yang tahu," kata dia.
Sementara itu, terkait proses persiapan asesmen TWK pegawai KPK, Anam mengungkapkan bahwa istilah "seleksi" yang menggantikan istilah "alih status" ternyata muncul pada detik-detik akhir pembahasan alih status pegawai KPK sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Penyidik dan Penyelidik KPK Dinonaktifkan Akibat TWK Tak Berdampak ke Penindakan
"Bahkan ngomong kata "seleksi" itu muncul di ujung (proses). Bukan di awal proses. Di tengah proses. Bukan. Tapi benar-benar di ujung (proses). Kayak akrobatik, gitu," katanya.
Dia mengungkapkan, pada 25 Mei 2021, pimpinan KPK menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan lembaga lain yang terkait dengan pelaksanaan alih status.
Pertemuan itu diselenggarakan sebagai bagian dari tindaklanjut arahan Presiden Jokowi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat berpidato di Istana Negara terkait alih status pegawai KPK.
Saat itu, Presiden mengatakan alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai KPK.
"Tapi ketika rapat itu kami dapat keterangan, asesornya ngotot. Sehingga internal KPK juga merespons itu. Internal KPK itu juga tidak semuanya menerima dalam satu suara," ungkapnya.
Baca juga: KPK Tetap Bakal Pecat 56 Pegawai yang Tak Lulus TWK
Situasi yang akrobatik itu, kata dia, sangat penting bagi proses penyidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM.
Sebab, peristiwa saat pertemuan dan kengototan asesor itulah yang menjadi awal mula pelaksanaan TWK diselenggarakan.
Artinya, ada tekanan kuat dari asesor untuk menyelenggarakan seleksi melalui asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
"Jadi ini juga sesuatu yang penting dalam konteks isu alih status itu. Jadi ada momentum di mana kata "alih status" itu menjadi "seleksi". Dan ini akrobatik dalam prosesnya," ujarnya.
Label Taliban
Dalam diskusi yang sama, Choirul Anam juga menyinggung soal pelabelan taliban terhadap pegawai dan penyidik KPK.
Menurutnya, pelabelan itu memang menyasar pegawai dan penyidik yang ingin bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi etika sebagai penyidik lembaga anti rasuah.
Kesimpulan itu dia dapatkan setelah menelusuri aduan pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus dalam TWK.
Adapun telusurannya didapat dari hasil pemeriksaan, penyelidilan, analisis dan melakukan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dan penyusunan kronologi laporan.
Awalnya, publik mengira isu taliban di KPK dikaitkan dengan agama dan latar belakang pegawai atau penyidik tertentu di KPK.
Tetapi, setelah Komnas HAM menelusuri lebih jauh ternyata tidak demikian.
Baca juga: Komisi Informasi Pusat Gelar Sidang Bahas TWK Pegawai KPK 13 September
Penelusuran itu dilakukan dengan meminta penjelasan para pelapor, melihat latar belakang para pelapor, meminta keterangan pegawai yang memenuhi syarat (MS), melihat hubungan kerja mereka dengan atasan diketahui bahwa label taliban terhadap pegawai dan penyidik KPK memang hanya menyasar orang tertentu.
"Ternyata 75 orang (tak lulus TWK) ini tidak semuanya Islam tapi lebih dari itu setelah kami telusuri memang stigma atau label ini, itu ditujukan kepada orang-orang yang ingin bekerja secara profesional. Yang kepengin bekerja secara (mengikuti) kode etik internal (KPK) mereka," katanya.
Pelabelan taliban itu juga bersamaan dengan menguatnya segregasi sosial masyarakat akibat meningginya isu SARA di masyarakat.
Isu di masyarakat itu kemudian dimanfaatkan untuk memberi cap dan kesan negatif kepada pegawai dan penyidik KPK yang dia sebut ingin bekerja secara profesional itu.
"Jadi isu-isu keagamaan ini hanya dipakai saja sebagai satu wajah, stigma yang memang dalam kehidupan nyata kita itu sedang naik. Jadi, menemukan momennya di situ. Itu yang dipakai," katanya.
Atas dasar temuan itu, kata dia, mereka menyebut proses TWK sebagai proses penyingkiran terhadap orang-orang tertentu di KPK.
Label Taliban hanyalah kedok yang dipakai untuk memberhentikan pegawai dan penyidik yang disasar di tubuh KPK.
"Kami telusuri aspek hukumnya. Aspek hukumnya memang banyak hal yang tidak sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak sesuai dengan cita-cita negara yang transparan. Yang berdasarkan HAM. Itu yang kami lihat," ungkapnya. (tribun network/git/dod)