Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

AJI: Kewenangan Pemerintah Putus Akses Publik ke Media Siber Terlalu Besar

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim menilai kewenangan pemerintah memutus akses publik ke media siber terlalu besar.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in AJI: Kewenangan Pemerintah Putus Akses Publik ke Media Siber Terlalu Besar
Tribunnews.com/ Gita Irawan
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim dalam Konferensi Pers Virtual Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kebebasan Pers yang disiarkan di kanal Youtube AJI Indonesia pada Rabu (1/9/2021). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim menilai kewenangan pemerintah memutus akses publik ke media siber terlalu besar.

Untuk itu, ia selaku perwakilan pemohon organisasi mengajukan permohonan gugatan uji materi pasal 40 ayat 2b Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE).

Sasmito menjelaskan permohonan yang diajukan pihaknya kepada Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan bagian dari upaya hukum yang ditempuh untuk memperjuangkan kebebasan pers.

Menurutnya gugatan yang diajukan tersebut merupakan upaya untuk mengkoreksi aturan yang menurut pihaknya sangat sewenang-wenang.

Ia menjelaskan pada pasal 40 ayat 2 UU ITE dijelaskan pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, lanjutnya, di pasal 2a disebutkan pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berita Rekomendasi

Lalu, di pasal 2b yang digugat tersebut berbunyi: Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2a, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Sasmito mengatakan pasal tersebut juga bisa ditafsirkan memberikan kewenenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap media massa khususnya media siber.

Baca juga: Mahkamah Konstitusi Telah Panggil MAKI untuk Sidang Uji Materi TWK KPK

Hal tersebut disampaikannya dalam Konferensi Pers Virtual Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kebebasan Pers yang disiarkan di kanal Youtube AJI Indonesia, Rabu (1/9/2021).

"Jadi teman-teman bisa membayangkan kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk memutus akses publik ke perusahaan media siber. Ini sangat kuat sekali kewenangan yang dimiliki pemerintah," kata dia.

Ia mengatakan pihaknya melihat hal tersebut telah terjadi khususnya pada media Suara Papua yang akses menuju medianya diputus pemerintah dengan alasan mengandung muatan negatif pada 2019 lalu.


Sasmito mengatakan apa yang dimaksud muatan negatif tersebut juga tidak dijelaskan secara gamblang.

Bahkan, lanjut dia, konten mana yang yang dimaksud bermuatan negatif juga tidak dijelaskan pemerintah.

Melihat era perkembangan media, kata dia, tentunya hal tersebut layak dikhawatirkan.

Baca juga: MK Sebut TWK Pegawai KPK Sah dan Konstitusional, LSAK: Harusnya Tak Jadi Polemik

"Ini yang kemudian mendorong AJI bersama Suara Papua, kita melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena sangat tidak adil, kita tidak tahu alasan pemerintah memutus aksesnya, tapi dampaknya sangat kita rasakan, khususnya bagi perusahaan media," kata dia.

Ia menjelaskan setidaknya ada dua dampak yang mungkin bisa dirasakan media.

Pertama, kata dia, dampaknya ke perusahaan media siber karena akses informasi tersebut diputus sehingga media siber waktu itu tidak bisa mempublikasikan hasil karya jurnalistiknya.

"Padahal kita tahu kebebasan pers dijamin konstitusi dan Undang-Undang Pers," kata dia.

Kerugian kedua, kata dia, adalah bagi publik karena ketika akses menuju media siber diblokir sehingga publik menjadi tidak bisa mengakses informasi dari media yang selama ini mereka baca.

Menurutunya hal yang perlu diwaspadai juga adalah kadang informasi yang dimaksud juga cukup penting dalam beberapa suasana dan kondisi tertentu.

Contohnya, kata dia, ketika ada kerusuhan.

Baca juga: Hakim Konstitusi Tanya Ahli soal Kualitas Riset Ganja untuk Medis di Indonesia

Menurutnya dalam situasi tersebut informasi yang valid dari berita sangat dibutuhkan publik terutama untuk mengambil keputusan yang tepat supaya mereka dan keluarga bisa menyelamatkan diri.

"Jadi ketika akses terhadap informasi dan berita ini ditutup, ini sangat merugikan publik karena mereka tidak bisa mendapatkan informasi yang valid kemudian bisa menentukan keputusan yang tepat," kata dia.

Pasal tersebut, kata Sasmito, bersifat multitafsir atau remang-remang.

Karena itu, kata dia, pasal tersebut harus dibawa ke suasana yang lebih terang dengan aturan yang lebih adil bagi semuanya di antaranya harus diuji di pengadilan atau harus ada keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Dengan demikian, hal tersebut memberikan kesempatan bagi perusahaan media siber untuk memberikan pembelaan ketika dituding oleh pemerintah misalkan melanggar hukum atau menyebarkan konten yang dianggap negatif oleh pemerintah.

Semangat gugatan tersebut, kata dia, adalah mendorong kebebasan pers supaya pemerintah tidak semena-mena memutus dan merampas kebebasan pers, terutama bagi media siber dan memastikan publik mendapat informasi melalui pemberitaan media siber.

"Kita berharap majelis hakim nanti bisa memutus dengan adil seperti yang dilakukan juga oleh Majelis Hakim di PTUN Jakarta yang waktu itu memimpin gugatan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas