Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perlunya RUU PKS Disahkan Menurut Ketua YLBHI

RUU PKS perlu segera disahkan menyusul kian maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di berbagai daerah.

Penulis: Reza Deni
Editor: Willem Jonata
zoom-in Perlunya RUU PKS Disahkan Menurut Ketua YLBHI
Tangkap Layar kanal YouTube Kompas TV
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menganggap penunjukkan Dewan Pengawas KPK secara langsung oleh presiden dapat menimbulkan adanya intervensi. 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) perlu segera disahkan menyusul kian maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di berbagai daerah.

Adapun kasus yang paling terbaru yakni muncul pengakuan seorang pria berinisial MS yang diduga telah mengalami pelecehan seksual di kantornya di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Perlunya RUU PKS segera disahkan menjadi Undang-Undang, dikatakan Asfinawati, lantaran kasus pelecehan seksual selama ini sulit diusut hingga tuntas karena aparat beralasan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

"Perlu disahkan (RUU PKS), karena banyak laporan ke polisi ditolak dengan alasan tidak ada hukumnya," kata Asfin, sapaan Asfinawati kepada wartawan, Jumat (3/9/2021)

Alumnus Universitas Indonesia itu memahami ada pihak yang menolak RUU PKS karena definisi kekerasan seksual yang tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak, yang dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.

Baca juga: Buntut Dugaan Pelecehan Seksual di KPI, Nasdem & PSI Desak RUU PKS Segera Disahkan

Baca juga: Banjir Karangan Bunga Dukung Interpelasi Formula E, PKS Curiga Pengirimnya Cuma Segelintir Orang

"Misalnya, pada Pasal 12 RUU PKS yang menyebut kekerasan seksual ialah bentuk tindakan fisik atau nonfisik kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan," kata Asfin.

BERITA REKOMENDASI

Namun, penolakan pada pasal tertentu di dalam RUU PKS, dikatakannya, bukan berarti harus menolak rancangan aturan itu.

Baca juga: Sidang Paripurna Luar Biasa DPD RI Sahkan Pertimbangan RUU APBN 2022

"Biasa, kan ada ketidaksetujuan dalam detail-detail, tetapi kenapa jadi seluruh RUU ditolak?" ujarnya.

Menurutnya, pada dasarnya pasal-pasal yang tertuang di dalam RUU PKS yang diajukan masyarakat sipil mengacu pada pengalaman korban menghadapi sembilan bentuk kekerasan seksual.

"Sembilan bentuk itu yaitu pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual," katanya.

Menurut Asfin, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak berani memperkarakan kasus, karena mereka tak memiliki dasar hukum yang kuat.

"Makanya, dulu orang sering pakai perbuatan tidak menyenangkan," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas