Cegah Gugurnya Petugas Pemungutan Suara, KPU Minta Ada Jamkes dan Honor Layak
Cegah insiden meninggalnya para PPS saat bertugas di Pemilu 2024 mendatang, KPU usul ada jaminan kesehatan dan honor layak bagi petugas pemilu.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan beberapa usulan strategi mencegah insiden meninggalnya para Petugas Pemungutan Suara (PPS) saat bertugas di Pemilu 2024 mendatang.
Hal itu disampaikan Ketua KPU RI Ilham Saputra dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Kamis (16/9).
Awalnya, Ilham mengungkapkan jumlah PPS yang meninggal pada Pemilu 2019 lalu.
"Pemilu 2019 ada 722 meninggal dan 798 sakit, bahkan di pemilihan (kepala daerah) 2020 kami mengalami ada 117 meninggal dan 153 sakit," kata Ilham.
Baca juga: KPU Pusat Usulkan Perpanjangan Masa Jabatan Komisioner KPU Daerah
Ilham menyebut, untuk mencegah insiden itu terulang, KPU mengusulkan perlu adanya jaminan kesehatan untuk para petugas pemilu.
Selain itu, juga dibutuhkan honor yang layak bagi mereka.
"Dengan kondisi ini kami memberikan usulan agar pemerintah perlu memberikan jaminan kesehatan dan honor yang layak untuk petugas kami, baik itu PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPS LN, pantarlih dan pantarlih luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku," ujar Ilham.
Lebih lanjut, KPU juga mengusulkan pembuatan payung hukum bagi teknologi dan sistem aplikasi.
Sehingga distribusi pengiriman suara nantinya menggunakan sirekap, tidak perlu lagi ada penyerahan formulir.
"Pembuatan payung hukum bagi teknologi dan sistem aplikasi yang mendukung badan adhoc, jadi nanti mungkin kami sudah melakukan simulasi juga dengan menggunakan sirekap mereka tidak perlu mengisi form-form yang begitu banyak untuk diserahkan kepada saksi dan panwas di TPS," ujarnya.
Kampanye Diperpanjang
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengusulkan masa kampanye pemilihan umum (pemilu) 2024 diperpanjang menjadi 7 bulan.
Hal itu berbeda dengan usulan awal KPU yaitu 4 bulan masa kampanye pemilu.
"Dengan durasi kampanye pemilu selama 120 hari yaitu 21 Oktober 2023 sampai 17 Februari 2024 maka proses pengadaan yang berkaitan dengan calon hanya berlangsung selama kurang lebih 4 bulan," kata Ilham.
Ilham menjelaskan alasan menambah masa kampanye ini berkaitan dengan distribusi logistik ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sehingga, diharapkan waktu 7 bulan kampanye akan menghindari potensi keterlambatan pengiriman logistik ke TPS.
Dalam waktu 7 bulan tersebut, KPU akan melakukan proses pengadaan logistik selama 1 bulan.
Durasi itu sudah termasuk potensi penambahan waktu jika ada gagal lelang 2 bulan.
"Oleh karenanya usulan KPU kita menambahkan durasi kampanye dengan menyamakan durasi kampanye pada pelaksanaan pemilu 2019 yaitu selama 209 hari atau 7 bulan untuk menghindari potensi tidak tepatnya logistik datang ke TPS," ucapnya. "Kemudian pelaksanaan pekerjaan ini termasuk proses produksi sampai pengiriman kabupaten kota 3 bulan, pengelolaan gudang itu 50 hari," lanjutnya.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memiliki pandangan berbeda dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait usulan waktu pemungutan suara Pemilu 2024.
Mendagri Tito Karnavian menyampaikan usulan pemungutan suara Pemilu 2024 pada bulan April atau Mei 2024.
Hal itu berbeda dengan usulan KPU yaitu pada 21 Februari 2024.
"Kami mengusulkan agar hari pemungutan suaranya dilaksanakan pada bulan April seperti tahun-tahun sebelumnya. Atau kalau masih memungkinkan Mei 2024," kata Tito.
Baca juga: Masa Jabatan Komisioner KPU Daerah Diusulkan Diperpanjang
Tito menjelaskan alasan Pemilu 2024 diusulkan pada April atau Mei 2024.
Mantan Kapolri itu menyebut jika Pemilu 2024 digelar pada bulan Februari, akan memajukan semua tahapan sebelumnya, setidaknya pada Juni 2022.
Hal itu tentu akan berdampak pada memanasnya suhu politik nasional dan daerah yang berdampak pada aspek keamanan dan pembangunan.
"Penentuan hari pemungutan suara akan berdampak ke belakang pada pentahapan, ini akan berdampak pada polarisasi, stabilitas politik keamanan, eksekusi program-program pemerintah daerah dan lain-lain, bukan hanya pusat daerah juga, kan semua berdampak," ujar Tito.
"Dengan asumsi 21 Februari, ini psikologi publik juga sudah mulai memanas. Padahal pemerintah baru bergerak Oktober 2019, kira-kira demikian, dan di tengah ini ada pandemi lagi," lanjutnya.
Sementara untuk Pilkada Serentak 2024, Tito menyatakan pemerintah sepakat dengan usulan KPU, yaitu digelar pada 27 November 2024.
"Kalau untuk masalah pilkada, karena memang dikunci oleh Undang-Undang nomor 10 tahun 2016, harus di bulan November 2024, maka usulan hari Rabu 27 November kami kira enggak masalah," ucap Tito.
Tito juga tidak setuju anggaran penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebesar Rp 86 triliun karena dinilai terlalu tinggi.
Karena itu, Tito mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan efisiensi anggaran.
"Kemarin (saya) membaca di media pengajuan Rp 86 triliun, jujur saja kami perlu melakukan exercise dan betul-betul melihat detil satu persatu angka tersebut. Karena lompatannya terlalu tinggi," kata Tito.
Tito menjelaskan lompatan tersebut yakni menengok anggaran penyelenggaraan pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2014 sekitar Rp16 triliun dan Pemilu 2019 sekitar Rp27 triliun. Tito pun mendorong usulan anggaran itu ditekan.
Apalagi, negara saat ini tengah memulihkan perekonomian akibat terdampak pandemi covid-19.
"Di saat kita sedang memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk memulihkan ekonomi nasional. Apalagi tahapannya kalau di 2022 dimulai, ini harus kita pertimbangkan betul," ucap Tito.
Baca juga: KPU Anggarkan Rp 86 Triliun untuk Gelar Pemilu 2024, Mendagri: Terlalu Tinggi
Sebelumnya, KPU mengajukan total pagu anggaran Rp86,2 triliun untuk Pemilu 2024. Anggaran yang disiapkan dari 2021 itu digunakan untuk konsolidasi demokrasi, operasional, dan non-operasional. Dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Lalu, KPU mengusulkan pagu anggaran sebesar Rp26,2 triliun yang dianggarkan mulai 2023-2025 untuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Dana berasal dari hibah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pemilu Minimalis
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang meminta, agar penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) serentak 2024 mendatang diselenggarakan secara minimalis, sebagai upaya untuk menghemat anggaran yang harus ditanggung negara.
Menurutnya, terkait penyelenggaraan pemilu serentak 2024 yang terdiri dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) serta pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan Presiden (Pilpres), semakin lama tahapan penyelenggaraannya, akan semakin besar anggaran negara nantinya yang dihabiskan.
"Anggaran penyelenggaraan pemilu ini harus kita perhatikan, karena menyangkut situasi ekonomi sekarang. Sehingga sebaiknya penyelenggaraan tahapan pemilu dibuat minimalis saja. Menyangkut anggaran semakin lama tahapan maka akan semakin tinggi anggaran yang dihabiskan," kata Junimart.
Lebih lanjut, diungkapkan Junimart dalam tahapan pemilu sebaiknya untuk masa kampanye Pilpres dan Pileg penyelenggaraannya dapat dipersingkat menjadi 3 bulan saja. Sedangkan untuk masa Kampanye Pilkada cukup selama 45 hari saja.
"Sebaiknya untuk tahapan pemilu seperti masa kampanye Pilpres dan Pileg, penyelenggaraan nya dibatasi cukup selama tiga bulan saja. Begitu juga dengan Pilkada kampanyenya cukup 45 hari saja, dengan pertimbangan bentuk dukungan kita terhadap Pemerintah dalam menurunkan penyebaran kasus Covid-19," ujarnya.
Sementara terkait, konflik atau irisan-irisan yang terjadi pasca pemilu yang sebelumnya menjadi alasan bagi KPU dan Bawaslu serta DKPP meminta agar tahapan penyelenggaraan pemilu diselenggarakan dengan durasi panjang sebagaimana pada penyelenggaraan Pilpres 2019 silam.
Ditegaskan Junimart, hal tersebut hanya sebatas produk politik yang semestinya dapat dicegah agar tidak terjadi pada pemilu 2024 mendatang oleh para pimpinan partai politik.
"Terkait konflik politik dan irisan-irisan yang terjadi pasca pemilu, menurut saya ini adalah sesuatu yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Dan irisan-irisan atau konflik ini sebenarnya juga bisa kita antisipasi agar tidak terjadi," katanya. Mantan anggota Komisi III DPR RI itu menekankan, seharusnya penggunaan anggaran pada pemilu 2024 mendatang lebih dioptimalkan peruntukannya kepada pembayaran honor dari para tenaga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lapangan.(Tribun Network/mam/wly)