Menyoal Pemecatan Pegawai KPK, Ombudsman RI Minta Presiden Koreksi Keputusan Pimpinan KPK
Ombudsman nilai pemecatan pegawai tak lolos TWK harus diartikan sebagai keputusan internal pimpinan KPK, ini belum final karena ada maladministrasi.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menilai keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pemecatan pegawai yang tak lolos TWK harus diartikan sebagai keputusan internal pimpinan KPK.
Dalam artian kata dia, keputusan tersebut adalah belum final, karena dalam keputusan itu terdapat maladminstrasi.
"Itu belum final, masih jauh dari end game dalam perspektif ombudsman seperti itu dan karena kami melihat bahwa keputusan pimpinan KPK itu sesuatu yang paling tidak dari sisi uji maladministrasi nya adalah salah," kata Robert dalam diskusi bersama ICW secara daring, Minggu (19/9/2021).
Baca juga: Ombudsman: Presiden Tidak Bisa Abaikan Rekomendasi Terkait TWK Pegawai KPK
Atas dasar itu, dirinya berharap adanya peran dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala pemerintahan untuk turut andil dalam sengkarut penyelanggaraan TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Bahkan kata dia, pihaknya telah memberikan dua rekomendasi kepada Preisden yang satu di antaranya yakni mengkoreksi keputusan pimpinan KPK.
"Pertama, koreksi atas keputusan dari pimpinan KPK yang harus ditempatkan sebagai keputusan internal tadi dan salah secara substansi, substansi maladminstrasinya," kata dia.
Kemudian rekomendasi yang kedua kata dia, yakni mengambil alih keputusan penetapan hasil akhir terkait dengan pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN.
"Dua hal ini tentu semuanya adalah telah pada ranah Presiden untuk melakukan itu," ucapnya.
Baca juga: Pakar Nilai TWK Hanya Jadi Alibi Penguasa Singkirkan Pegawai KPK
Setelah mengirimkan rekomendasi tersebut, dan kata dia sudah diterima oleh Presiden Jokowi, selanjutnya Ombudsman RI berharap bisa bertemu langsung dan berdiskusi dengan orang nomor satu di Indonesia itu.
Sebab kata dia, sangat penting bagi Presiden untuk bisa mendengar langsung rekomendasi dari pihaknya.
Kemudian sangat penting juga bagi Ombudsman, untuk bisa mendengar apa pandangan dari Presiden.
"Sejak Kamis kemarin kami sudah mendapatkan informasi yang valid, bahwa ini (rekomendasi) sudah masuk ke sana (istana), kita tentu akan mengupayakan untuk bisa bertemu beliau gitu ya, tidak sekadar di level apa pembantunya (menteri, red)," tukasnya.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 56 pegawai nonaktif KPK tidak akan lagi bekerja di lembaga antirasuah per 1 Oktober 2021.
Itu karena Firli Bahuri Cs resmi memecat 56 dari total 75 pegawai gagal menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tersandung tes wawasan kebangsaan (TWK) pada 30 September 2021 mendatang.
Ketua KPK Firli Bahuri pun telah mengeluarkan SK Pimpinan KPK tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
SK bernomor 1354 tahun 2021 itu ditetapkan di Jakarta pada 13 September 2021. Surat ditandatangani oleh Firli Bahuri.
Salinan SK disampaikan kepada Dewan Pengawas KPK, Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Jakarta VI, serta pegawai itu sendiri.
Baca juga: TWK Maladministrasi, Ombudsman Kaget Pertama Kalinya Ada Pihak Terlapor Ajukan Keberatan
Dalam diktum poin kesatu, pimpinan KPK memberhentikan dengan hormat pegawai KPK per tanggal 30 September 2021.
"Memberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mulai tanggal 30 September," tulis SK yang didapat Tribunnews.com dari sumber, Sabtu (18/9/2021).
Masih dalam diktum poin kesatu, tercantum pula nama si pegawai, NPP (Nomor Pendaftaran Perusahaan), serta jabatan. Tak luput tersemat kalimat ucapan terima kasih atas jasa-jasa si pegawai karena telah bekerja di KPK.
Diktum poin kedua, disebutkan bahwa pegawai yang dipecat akan diberikan tunjangan hari tua dan manfaat Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
"Pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU diberikan Tunjangan Hari Tua dan manfaat BPJS Ketenagakerjaan sesuai peraturan perundang-undangan,” bunyi SK tersebut.
Diktum poin ketiga berbunyi, "Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya."