Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mengetahui Peristiwa Rebo Wekasan dalam Pandangan Islam dan Hukum Meyakininya, Ini Penjelasannya

Penjelasan peristiwa Rebo Wekasan dalam pandangan islam dan hukum meyakininya. Rebo Wekasan merupakan tradisi ritual pada Rabu terakhir bulan shafar

Penulis: Devi Rahma Syafira
Editor: Miftah
zoom-in Mengetahui Peristiwa Rebo Wekasan dalam Pandangan Islam dan Hukum Meyakininya, Ini Penjelasannya
Youtube Kang Suyuti
tradisi Rebo Wekasan atau Rabu terakhir bulan Safar 

TRIBUNNEWS.COM - Berikut penjelasan peristiwa Rebo Wekasan dalam pandangan islam dan hukum meyakininya.

Rebo Wekasan merupakan tradisi ritual yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar.

Tujuannya untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari segala macam malapetaka yang akan terjadi di hari tersebut.

Tradisi Rebo Wekasan telah berlangsung secara turun temurun di kalangan masyarakat Indonesia seperti di daerah Jawa, Sunda, Madura, dan lain sebagainya.

Tradisi Rebo Wekasan di Desa Jepang Kudus, Jawa Tengah
Tradisi Rebo Wekasan di Desa Jepang Kudus, Jawa Tengah (Tribun Jateng)

Rebo Wekasan memiliki ritual yang meliputi empat hal, yaitu:

- Sholat tolak bala

- Berdo'a dengan doa-doa khusus

Berita Rekomendasi

- Minum air jimat

- Selamatan, sedekah, silaturahmi, dan berbuat baik kepada manusia

Baca juga: Pengertian Rebo Wekasan, Asal Usul hingga Tata Cara Sholat Tolak Bala

Baca juga: Mengenal Apa Itu Rebo Wekasan, Dilengkapi Bacaan Niat dan Tata Cara Salat Tolak Bala

Tradisi Rebo Wekasan bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid atau biasa disebut Mujarrobat ad-Dairobi.

Anjuran lainnya juga terdapat dalam kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.

Dikutip dari tebuireng.online dalam pandangan islam, peristiwa Rebo Wekasan ditinjau dari beberapa sudut pandang.

1. Ilham tidak dapat menjadi dasar hukum

Sebagian ulama sufi atau Waliyullah didasari pada ilham.

Ilham merupakan bisikan hati yang datangnya dari Allah atau semacam inspirasi bagi masyarakat umum.

Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum.

Ilham tidak dapat menjadikan suatu hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.

2. Peristiwa Rebo Wekasan tidak berkaitan dengan hukum syariat

Ilham yang diterima para ulama tidak menghukumi tetapi hanya informasi dari alam ghaib.

Oleh karena itu, anjuran Rebo Wekasan tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum syariat.

3. Ilham yang diterima oleh wali tidak boleh diamalkan sebelum dicocokkan dengan Al Qur'an dan Hadist

Jika sesuai dengan Al Qur'an dan Hadist, maka ilham dapat dipastikan kebenarannya.

Namun, jika bertentangan maka ilham harus ditinggalkan.

Terdapat hadist yang menjelaskan tentang Rebo Wekasan atau Rabu terakhir di Bulan Shafar, namun hadist ini dhaif atau lemah hukumnya.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..

“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.”

HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Selain itu, hadist ini tidak berkaitan dengan hukum wajib, halal, haram, dll, tetapi hanya bersifat peringatan.

Hukum Meyakini

Hukum meyakini peristiwa Rebo Wekasan telah dijelaskan pada hadist shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadist ini menjelaskan jika bulan shafar sama seperti bulan-bulan lainnya dan tidak memiliki keistimewaan khusus.

Hadist ini juga merupakan respon Nabi Muhammad SAW terhadap tradisi yang berkembang di masa jahiliyah.

Banyak orang awam meyakini datangnya sial pada bulan shafar, dan melarang bepergian pada bulan itu.

Meyakini hal tersebut termasuk jenis thiyarah atau meyakini pertanda buruk yang dilarang.

Baca juga: Amalan yang Bisa Dilakukan saat Rebo Wekasan, Sholat Tolak Bala hingga Bersedekah

Dengan demikian, tradisi Rebo Wekasan bukan bagian dari syariat islam.

Akan tetapi, dapat dijadikan tradisi yang positif karena menganjurkan banyak berdo'a, beribadah kepada Allah, mengajurkan banyak sedekah dan menghormati para wali yang mukasyafah.

Hukum ibadahnya tergantung pada tujuan dan pelaksanaannya.

Apabila niat dan pelaksanaan sesuai dengan syariat hukumnya boleh, tetapi jika terjadi penyimpangan baik dalam keyakinan maupun caranya hukumnya haram.

Mengenai penjelasan adanya kesialan pada kahir bulan shafar seperti angin topan yang memusnahkan kaum 'aad yang tertulis di QS. Al Qamar: 18-20, maka hal itu merupakan salah satu peristiwa saja yang tidak terjadi terus menerus.

(Tribunnews.com/Devi Rahma)

Artikel Lain Terkait Rebo Wekasan

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas