Sejarah Perkembangan Keamanan Siber, dari Dinas Code hingga CSIRT
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, keamanan siber di Indonesia mengalami perubahan dan peningkatan yang signifikan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Kemajuan teknologi informasi telah mendorong sistem komputasi dan informasi atau siber meningkat pesat. Kemajuan siber ini telah melahirkan kemudahan di berbagai sektor kehidupan, seperti pada sektor finansial, transportasi, wisata dan lainnya. Namun kemajuan ini telah membawa dampak baru apa yang disebut dengan kerentanan siber atau bahkan serangan siber. Karena serangan siber itulah, kiga juga akrab dengan istilah keamanan siber. Nah, Apa itu keamanan siber?
Keamanan siber adalah segala upaya dalam rangka menjaga kerahasiaan, keutuhan dan ketersediaan informasi serta seluruh sarana pendukungnya di tingkat nasional, yang bersifat lintas sektor. Saat ini keamanan Siber menjadi isu prioritas negara demi menciptakan lingkungan siber strategis dan penyelenggaraan sistem elektronik yang aman, andal dan terpercapai.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, keamanan siber di Indonesia mengalami perubahan dan peningkatan yang signifikan. Cikal bakal perkembangan siber di Indonesia tak terlepas dari peristiwa di awal kemerdekaan RI, pada tanggal 4 April 1946.
Menteri Pertahanan saat itu, Mr. Amir Sjarifuddin memerintahkan dr. Roebiono Kertopati, seorang dokter kepresidenan di Kementerian Pertahanan Bagian B (bagian intelijen) untuk membentuk badan pemberitaaan rahasia yang disebut dengan Dinas Code. dr. Roebiono kemudian membentuk kamar sandi yang kelak di kemudian hari menjadi embrio berdirinya Lembaga Sandi Negara yang kini berubah nama menjadi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Saat itu, operasional Dinas Code menggunakan sistem yang dikenal dengan “Buku Code C” yang merupakan karya dr. Roebiono yang memuat 10.000 sandi berupa kode rahasia seperti kata, tanda baca, awalan dan akhiran, hingga penamaan dan lainnya. Ia membuat enkripsi tersebut menggunakan sistem kode angka secara mandiri. Operasional pengamanan informasi saat itu didukung oleh personel yang disebut personel sandi atau CDO (Code Officer).
Menghadapi perubahan tantangan zaman dan ancaman keamanan, BSSN RI terus melakukan pemutakhiran dalam sistem keamanan siber. Berdasarkan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, BSSN membentuk 121 Tim Tanggap Insiden Siber atau Computer Security Incident Response Team (CSIRT). CSIRT menjadi salah satu major project guna memperkuat keamanan siber Indonesia.
Pembentukan CSIRT sejalan pula dengan penerapan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE. Menjadi bagian unsur keamanan SPBE adalah penjaminan keutuhan, ketersediaan data, dan informasi. Dalam konteks tersebut, maka fungsi CSIRT adalah sebagai penyediaan pemulihan dari insiden keamanan siber. CSIRT memiliki otoritas untuk menangani berbagai insiden keamanan siber yang terjadi atau mengancam sistem informasi BSSN berupa web defacement, DDOS, malware, phising, dan sebagainya.
Kepala BSSN Hinsa Siburian dalam berbagai kesempatan mengatakan, BSSN akan berperan aktif dalam upaya meningkatkan keamanan siber di Indonesia. Sebagai bukti bahwa negara hadir dalam melindungi masyarakat di ruang siber.
Pembentukan CSIRT ini memiliki misi “Secure The Future”, di mana Indonesia diharapkan siap menghadapi ancaman kejahatan di ruang siber termasuk kejahatan penyalahgunaan data.
Pemanfaatan ruang siber harus diikuti tiga hal, yaitu keamanan siber, pemaksimalan penggunaan ruang siber untuk memajukan kepentingan nasional di tingkat global, penguatan kuantitas dan kualitas ruang siber yang kompetitif di tingkat dunia pada seluruh lapisan ruang siber, baik lapisan fisik, logika, dan sosial. (*)