Solidaritas Perempuan Minta Pemerintah Cabut Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015
Solidaritas perempuan (SP) meminta pemerintah mencabut Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 yang dinilai diskriminatif.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Solidaritas perempuan (SP) meminta pemerintah mencabut Kepmenaker Nomor 260 Tahun 2015 yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan dan buruh.
Kebijakan Kepmenaker 260 Tahun 2015 melarang penempatan buruh migran pada pengguna perseorangan di 19 negara di kawasan Timur Tengah.
Langkah ini dinilai menyebabkan diskriminasi, pelanggaran hak perempuan buruh migran, dan trafficking.
Ruwaida, ketua badan eksekutif SP Palu mengatakan pekerja migran Indonesia (PMI) yang berasal dari Sulawesi Tengah, khususnya Kabupaten Sigi misalnya, banyak ditemukan fakta proses pemberangkatan yang unprosedural dan tidak tercatat.
"Seperti halnya data di tingkat nasional, komposisi PMI di Kabupaten Sigi juga masih lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki," kata Ruwaida pada konferensi pers, Kamis (14/10/2021).
Baca juga: Kemenaker dan Pemprov Sumut Koordinasi Percepatan Penyelenggaraan Unit Layanan Disabilitas
Negara yang menjadi tujuan PMI Kabupaten Sigi kebanyakan ada di wilayah Timur Tengah meliputi Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain, Syria, Kuwait dan Irak.
Beberapa hal yang mendorong mereka bekerja di luar negeri karena hilangnya lapangan pekerjaan, khususnya di sektor pertanian, hingga pasca bencana likuifaksi akibat gempa bumi yang pernah terjadi di Palu.
“Selain itu adanya desakan karena jeratan hutang, KDRT, iming-iming gaji hingga harapan untuk ibadah haji,” katanya.
PMI yang minim pengetahuan rentan mengalami masalah di beberapa tahapan yang harus mereka lalui, mulai dari tahap sebelum bekerja hingga selama bekerja di luar negeri.
Baca juga: Kemenaker Komitmen Carikan Solusi Terkait Keselamatan dan Kesejahteraan Kurir E-Commerce
Misalnya pada tahap sebelum bekerja, mereka kerap mengalami penipuan, diperas calo, pemalsuan dokumen hingga indikasi trafficking.
Pada tahap penampungan, calon PMI minim diberikan informasi, tidak diberikan pelatihan, hingga kerap mengalami kekerasan fisik dan psikis, bahkan batal berangkat.
“Batal berangkat, kemudian tidak dipulangkan ke daerah asal, tapi dipekerjakan di tempat lain, kontraknya tidak jelas, ketika mereka minta pulang itu diminta ganti rugi, dan itu berlipat-lipat ganda,” ujarnya.
SP Palu mencatat ada sekira 42 penangan kasus pasca Kepmenaker 260/2015, yang salah satunya kasus seorang PMI yang memilih kabur dari majikan dalam kondisi sakit hingga akhirnya meninggal.
Baca juga: Kemenaker Canangkan Gerakan Tagar Talenthub Bantu Kerja
SP Palu meminta perhatian pemerintah terhadap kasus-kasus pasca Kepmenaker 260/2015 ini.
Solidaritas perempuan memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk melakukan penegakkan hukum, menjamin hak-hak pekerja migran dan menjamin pemenuhan hak-hal korban trafficking.
Yakni berupa restitusi dan rehabilitasi korban.
“Pengalaman dari kasus 2015, jatuh-jatuhnya kalau melakukan investigasi paling banter pemalsuan dokumen, tidak ada penegasan soal penegakkan hukum orang-orang yang terindikasi pelaku, itu terkesan diabaikan. Dalam proses pekerja migran bermasalah rata-rata tidak dijamin pemenuhan haknya,” ujarnya.