Yusril: Saya Tak Minta Bayaran Saat Bela Ibas
Advokat Prof Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut tak merapat ke Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dikarenakan honor lampaui batas.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Wahyu Aji
Wawancara Khusus dengan Profesor Yusril Ihza Mahendra (Bagian Pertama)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Prof Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut tak merapat ke Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dikarenakan honor yang ditawarkan Yusril melampaui batas.
Kubu AHY mengatakan Yusril meminta bayaran Rp100 miliar.
Hal itu dibantah Yusril saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribunnetwork Rachmat Hidayat, Rabu (13/10/2021).
Yusril mencontohkan ketika menangani kasus putra SBY yakni Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dirinya tak meminta uang sepeserpun.
Menurutnya dia membantu dengan dasar persahabatan dan kedekatan dengan SBY.
"Tanya saja sama pak SBY. Pak SBY kan pernah minta tolong sama saya untuk menangani kasus Ibas. Terus saya minta bayaran berapa dari Pak SBY? Nol rupiah," ujar Yusril, Rabu (13/10).
"Ibas saja pada waktu itu menanyakan kepada saya, 'pak Yusril kita bikin kontrak deh bagaimana?' Saya bilang nggak enak lah dengan beliau (SBY), ya sudahlah ya, ini kan dasarnya persahabatan, membantu saya kepada beliau, nggak usah lah kita bicara-bicara," imbuhnya.
Berikut petikan wawancara Prof Yusril Ihza Mahendra dengan Tribunnetwork :
Terkait pernyataan Benny K Harman, pola pikir Anda dalam menggugat AD/ART disebut seperti Adolf Hitler. Bagaimana tanggapannya?
Saya tertawa saja karena menganggap ini sesuatu yang lucu. Saya sendiri cukup dalam menelaah pemikiran pemikiran Adolf Hitler, jauh lebih 30 tahun yang lalu barangkali ketika saya di FISIP UI mengajar mata kuliah namanya propaganda politik dan perang urat syaraf. Sekarang mata kuliah itu tidak ada, digantikan namanya komunikasi politik kalau tidak salah.
Semua literatur yang dipakai untuk mengajarkan propaganda politik dan perang urat syaraf itu adalah literaturnya Adolf Hitler dan literaturnya Jozef Goebbels, menteri propagandanya Nazi.
Semua literaturnya itu berbahasa Jerman, pak Osman suruh saya baca telaah dan pak Osman sendiri itu berguru sama Jozef Goebbels di Berlin, karena beliau kuliah disana tahun 1937 saat menjelang perang dunia kedua dan saat Hitler sedang berkuasa di Jerman. Jadi saya paham betul teknik-teknik propaganda Nazi, ideologi Nazi, propagandanya dan sebagainya saya paham.
Baca juga: Banyak yang Menduga ada Invisible Power di Belakangnya, Yusril Justru Beberkan ini
Tiba-tiba saya sekarang ini dituduh sebagai Nazi, itu bagi saya sesuatu yang agak mencengangkan. Jangan-jangan yang menuduh ini sama sekali tidak pernah belajar tentang Nazi, cuma dengar-dengar saja kata orang, kata orang begitu.
Nah sebenanrya tidak ada literatur Nazi yang saya gunakan sebagai rujukan dalam mengajukan uji formil dan materiil ke Mahkamah Agung (MA). Bahkan Undang-undang (UU) yang saya jadikan sebagai batu uji untuk menguji AD/ART Partai Demokrat itu adalah UU partai politik dan UU pembentukan peraturan perundang-undangan yang keduanya itu dibuat oleh presiden SBY dengan DPR, yang didalamnya ada Fraksi Partai Demokrat dan di dalamnya ada Benny K Harman sebagai anggotanya, dan itu disahkan.