Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pimpinan Komunitas Dorong Pemerintah Deklarasi Darurat Iklim Jelang COP26 di Glasgow

Literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim.

Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
zoom-in Pimpinan Komunitas Dorong Pemerintah Deklarasi Darurat Iklim Jelang COP26 di Glasgow
Tribunnews/Jeprima
Sejumlah aktivis lingkungan menggelar aksi serentak darurat iklim di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Jumat (19/3/2021). Aksi yang dilakukan secara serentak di beberapa lokasi di Jakarta tersebut menuntut Presiden Joko Widodo untuk mendeklarasikan darurat iklim. Aksi tersebut dibawakan secara teatrikal dengan menyiramkan cairan berwarna merah sebagai simbol banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia akibat rusaknya iklim. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Komitmen Indonesia yang terlambat 10 tahun dari target persetujuan Paris tersebut menyiratkan upaya pemerintah yang kurang ambisius dalam menyikapi krisis iklim yang mengancam kehidupan masyarakat khususnya di tanah air.

Karena itu, sejumlah pemimpin organisasi mendorong deklarasi darurat iklim menjelang perhelatan 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober–12 November 2021 mendatang.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan bahwa persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul 'Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System', dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam pernyataannya, Selasa(19/10/2021).

Baca juga: Komisaris Uni Eropa untuk Aksi Iklim Akui Peran Penting Indonesia untuk COP26

Baca juga: Kelola Isu Perubahan Iklim, Pemerintah Manfaatkan Strategi Transformasi Ekonomi

Menurut Fabby, manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar.

Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih.

Berita Rekomendasi

Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebihi 1,5 derajat celcius.

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, Aktivis Extinction Rebellion Indonesia, Melissa Kowara mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi serta kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Kata dia, tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah menurut Melissa Kowara, mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.

“Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis. (Belum ada deklarasi yang mengatakan-red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua,” ujar Melissa.

Menurutnya, hal ini berkaitan dengan literasi masyarakat yang rendah mengenai perubahan iklim.

Baca juga: BMKG Ingatkan Datangnya La Nina Jelang Akhir Tahun 2021, Minta Masyarakat Waspada

Baca juga: 2 Faktor yang Menyebabkan Cuaca pada Siang Hari Akhir-akhir Ini Begitu Panas

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammad Ali Yusuf mengungkapkan pula bahwa diskursus keagamaan di Indonesia sendiri masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Senada, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jimmy Sormin mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu ‘membumikan’ hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat-red),” ujar Jimmy.

Menilik persoalan perubahan iklim dari sisi perempuan, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka berpendapat bahwa seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan.

Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.

“Padahal dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara,” ujar Mike. (Willy Widianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas