Luncurkan Buku Relasi Islam dan Negara, Arsul Sani Tinjau Artikulasi Syariat Islam dalam Legislasi
Waketum Partai Persatuan Pembangun (PPP) yang juga anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani, meluncurkan buku Relasi Islam dan Negara.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangun (PPP) yang juga anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani, meluncurkan buku Catatan dari Senayan 2: Relasi Islam dan Negara, Perjalanan Indonesia secara virtual pada Rabu (20/10/2021).
Arsul menjelaskan buku tersebut pada dasarnya merupakan catatan dari hasil dialognya sebagai perwakilan rakyat dengan berbagai kelompok masyarakat dan individu khususnya dengan elemen umat Islam di Indonesia.
Dialog-dialog tersebut, kata Arsul, dilakukannya baik dengan kelompok ormas Islam arus utama hingga yang dilabeli bukan arus utama.
"Semua dari apa yang kemudian terjadi dalam percakapan itulah saya catat. Dan catatan-catatan terpisah itulah yang kemudian melahirkan buku ini. Tentu setelah diedit diperkaya dengan bantuan dari staf ahli dan juga dari tim yang ada di sekretariat MPR RI di kantor saya berada," kata Arsul.
Baca juga: NII Crisis Center Sebut Ada Ribuan Penganut Paham Radikalisme di Lampung
Baca juga: Densus 88 Godok Kerja Sama Dengan Kemendagri Terkait Program Deradikalisasi Eks Narapidana Teroris
Arsul menjelaskan buku tersebut terdiri dari lima bagian.
Pertama adalah bagian yang memuat aspek konsepsional dan teoritis terkait pemikiran tentang Islam dan negara dari zaman pasca tabiin sampai dengan abad 20.
Buku tersebut, kata dia, memotret kembali apa yang menjadi pandangan para alim ulama dan para sarjana tata negara Islam yang terkenal.
Ia menyebutkan antara lain Al Mawardi, Al Ghazali, Ibn Khaldun, Ibn Taimiyah, Jamaluddin Al Afghani, Sayid Qutb, dan Hasan Al Banna.
Bahkan, kata dia, dalam konteks pemikiran, buku itu juga merekam kembali dialog antara Nurcholis Madjid dengan Mohammad Roem.
Pada bagian kedua, lanjut Arsul, buku tersebut juga memaparkan perjalanan dan praktik kenegaraan umat Islam sejak awal-awal Islam, khususnya kekhalifahan setelah Khilafah Rasyidun hingga Turki Usmani.
Pada bab berikutnya, kata dia, buku tersebut mendeskripsikan pengalaman dan praktik bernegara dari negara-negara di mana umat Islam menjadi mayoritas penduduk dari negara tersebut.
Di dalamnya, kata dia, dijelaskan bagaimana umat Islam atau rakyat dari negara yang mayoritas penduduknya umat Islam tersebut menempatkan ajaran Islam dalam urusan tata negara mereka.
Baca juga: HNW Minta BNPT Waspadai Pengaburan Sejarah Kelam Komunis Radikal di Indonesia
Baca juga: Habib Syakur: Paham Radikalisme Bahaya Besar Bagi Keutuhan Bangsa
Bagian keempat dari buku tersebut, kata dia, berbicara tentang konsensus-konsensus bernegara yang terjadi dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Hal tersebut, kata dia, dimulai dari perdebatan-perdebatan di BPUPKI hingga pemikiran-pemikiran yang berkembang setelahnya termasuk ketika pemerintah Orde Baru mengharuskan semua organisasi politik, termasuk ormas Islam untuk menerima asas tunggal Pancasila.
"Terakhir, bab kelima adalah buku ini mendeskripsikan, melakukan critical overview terhadap artikulasi syariat Islam dalam legislasi," kata dia.
Secara singkat, kata Arsul, ia ingin menyampaikan bahwa sebagian besar dari ajaran-ajaran Islam itu sudah terartikulasikan dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia.
Selain itu, kata dia, sudah begitu banyak kebijakan dan juga legislasi di bawah UU yang hakikatnya artikulasi dari syariat Islam di negara kita.
“Yang tidak ada bisa dikatakan hanya di bidang pidana, hukum pidana saja. Itu juga dalam pembahasan RKUHP, pemerintah sebagai penggagas RKUHP baru juga banyak memuat nilai-nilai atau ajaran Islam dalam Pidana kita. Kode,” kata Arsul. (*)