Jubir Satgas Covid-19 Jelaskan Alasan Pemerintah Mewajibkan Tes PCR Bagi Penumpang Pesawat
Beka mengatakan kebijakan tes PCR bertambah ruwet karena PCR yang kedua tidak berlaku juga sebagai syarat penerbangan pada hari Senin keesokannya.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara menilai kebijakan baru pemerintah bagi para pelaku perjalanan di tanah air yang mensyaratkan PCR 2 X 24 jam memberatkan masyarakat. Apalagi, kata dia, kalau hanya untuk perjalanan singkat 2 sampai 3 hari.
Beka mengatakan rencananya Jumat (22/10/2021) pagi ia akan terbang ke Surabaya dan kembali ke Jakarta pada Sabtu (23/10/2021) malam.
Setelah itu Senin (25/10/2021) pagi keesokan harinya ia juga akan kembali lagi ke Surabaya untuk berkegiatan di Jawa Timur selama seminggu.
Supaya bisa terbang pagi ini, maka kemarin ia harus melakukan PCR. Celakanya, kata dia, masa berlakunya PCR tidak cukup sebagai syarat terbang kembali Jakarta.
Sehingga, sesampainya di Surabaya ia harus melakukan PCR lagi.
Ia mengatakan kebijakan tersebut bertambah ruwet karena PCR yang kedua tersebut tidak berlaku juga sebagai syarat penerbangan pada hari Senin keesokannya.
"Kebijakan baru pemerintah yang mensyaratkan naik pesawat pakai PCR berlaku 2 x 24 jam itu bikin ruwet dan memberatkan. Apalagi untuk perjalanan singkat 2-3 hari dan frekuensinya tinggi," kata Beka ketika dikonfirmasi Tribun, Kamis (21/10/2021).
Belum lagi kalau bicara soal biaya dan akses. Menurutnya biaya PCR masih bisa diturunkan lagi sehingga lebih terjangkau, dan bukan hanya sebagai syarat terbang tetapi juga untuk kepentingan 3T (Test, Tracing dan Treatment).
"Syarat PCR 2 x 24 jam juga memberatkan karena tidak semua daerah dengan rute penerbangan punya laboratorium yang memberikan layanan cepat hasil PCR," kata Beka.
Ia menceritakan pengalaman temannya yang dua bulan lalu berlibur ke satu lokasi wisata. Saat itu, kata dia, spesimen PCR temannya tersebut bahkan harus dikirim dulu ke daerah lain sehingga butuh waktu lebih lama.
Karena alasan-alasan tersebut, ia mengaku setuju dengan sikap dan pendapat anggota Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh yang menilai kebijakan PCR 2 x 24 jam tersebut harus dibatalkan.
"Diganti dengan kebijakan lain tanpa harus meninggalkan kewaspadaan kita akan potensi naiknya penyebaran Covid-19," kata Beka.
Sebelumnya, pemerintah memperbaharui syarat penerbangan yakni tak mengizinkan penggunaan tes rapid antigen, melainkan pelaku perjalanan udara ke depannya hanya diperbolehkan tes PCR.
Aturan itu awalnya tertuang dalam Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.
Kemudian Satgas Penanganan Covid-19 mengeluarkan surat edaran Nomor 21 tentang Ketentuan Perjalanan Orang dalam Negeri pada Masa Pandemi Covid-19.
Baca juga: Mulai 24 Oktober, AP II Implementasikan Aturan Penumpang Pesawat Wajib PCR
Surat Edaran ini berlaku efektif mulai tanggal 21 Oktober 2021 sampai waktu yang ditentukan kemudian dan akan dievaluasi lebih lanjut sesuai dengan perkembangan terakhir di lapangan ataupun hasil evaluasi dari Kementerian/Lembaga.
Aturan itu juga kemudian turun ke Kementerian Perhubungan selaku regulator transportasi.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga menerbitkan Surat Edaran Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara Pada Masa Pandemi Covid-19. Dalam SE terbaru Kemenhub mengatur jumlah penumpang kereta api (KA) antarkota, kereta rel listrik (KRL) dan juga KA lokal perkotaan.
Penumpang pesawat terbang dan angkutan laut juga turut diatur dalam surat Kemenhub tersebut.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan, penyesuaian aturan perjalanan untuk penumpang pesawat ini menyusul adanya perubahan aturan load factor pada transportasi udara.
"Dengan tidak adanya batasan load factor pada penumpang pesawat, maka saat ini diwajibkan menunjukkan hasil tes negatif Covid-19 dengan metode PCR Test," ucap Wiku.
Selain itu Wiku juga menjelaskan, meski tidak ada lagi batasan untuk load factor di pesawat tetapi maskapai wajib menyediakan tiga row seat untuk penumpang yang memiliki gejala Covid-19.
"Kemudian penggunaan PCR Test ini juga sebagai bentuk untuk mengoptimalkan pencegahan penularan Covid-19 untuk penumpang yang memiliki potensi lolos dari proses screening kesehatan," ujar Wiku.
Baca juga: Komisioner Komnas HAM Soroti Kebijakan Wajib PCR untuk Syarat Naik Pesawat: Memberatkan
Protes juga datang dari Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKB Neng Eem Marhamah Zulfah Instruksi Menteri Dalam (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3, 2, dan 1 di Jawa dan Bali yang menjadi acuan agar semua penumpang pesawat wajib tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan sebagai sebuah kemunduran.
"Kami menilai kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat yang tertuang dalam Inmendagri 53/2021 tentang PPKM Level 3, 2, dan 1 di Jawa dan Bali merupakan langkah mundur bagi upaya menuju kenormalan baru seiring terus melandainya kasus Covid-19 di tanah air," ujar Neng Eem.
Dia menjelaskan pembatasan ketat selama pandemi Covid-19 dalam satu setengah tahun terakhir telah memukul industri penerbangan global termasuk di tanah air.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat industri penerbangan global mengalami kerugian Rp 2.867 triliun selama satu setengah terakhir.
Nilai kerugian tersebut setara dengan 9 tahun pendapatan kolektif industri penerbangan global.
"Di tanah air banyak maskapai penerbangan yang harus merumahkan karyawan mereka karena terus merugi. Bahkan upaya restrukturisasi utang maskapai Garuda terhambat karena minimnya aktivitas penerbangan selama pandemi ini," ujarnya.
Melandainya pandemi Covid-19, kata Eem harusnya menjadi momentum kebangkitan industri penerbangan di tanah air.
Seiring masifnya vaksinasi serta adanya Aplikasi Peduli Lindungi harusnya tidak perlu lagi ada persyaratan tes PCR bagi calon penumpang pesawat terbang.
"Harus diakui jika tes PCR salah satu yang menghambat peningkatan jumlah penumpang pesawat selama musim pandemi ini. Bahkan kami mendapatkan banyak informasi jika penumpang terpaksa hangus tiketnya karena harus menunggu hasil tes PCR," ucapnya.
Meski saat ini sudah ada batas tertinggi harga tes PCR, lanjut Eem, tetapi bagi kebanyakan masyarakat masih tergolong besar.
Bahkan harga tes PCR ini bisa 50 persen dari harga tiket pesawat. Kondisi ini membuat banyak calon penumpang yang memilih moda transportasi lain.
"Situasi ini tentu kian menyulitkan industri penerbangan di saat pandemi ini karena meskipun tidak ada persyaratan tes PCR jumlah penumpang pun sudah pasti turun," katanya.
Eem mempertanyakan munculnya persyaratan tes PCR dalam Inmendagri 53/2021.
Sebab di Inmedagri 47/2021, persyaratan calon penumpang pesawat hanya berupa tes antigen (H-1) dengan syarat sudah memperoleh vaksinasi dosis kedua dan hasil negatif PCR (H-2) jika baru memperoleh vaksin dosis pertama.
Tapi di Inmendagri yang baru, poin tersebut dihilangkan.
"Kami tidak ingin aturan baru wajib tes PCR ini dipersepsikan publik sebagai bentuk keberpihakkan pemerintah kepada penyelenggara tes-tes PCR yang saat ini memang tumbuh di lapangan. Jangan sampai unsur kepentingan bisnis mengemuka dalam urusan PCR untuk penumpang pesawat ini," ujarnya. (Tribun Network/gta/mam/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.