MK Sebut Tak Beralasan Dalil Pasal Blokir Internet Bertentangan dengan Jaminan Kepastian Hukum
KTUN haruslah dimaknai juga penetapan tertulis yang juga merupakan tindakan faktual sebagaimana termuat pada pasal 87 huruf a UU 30/2014.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan sebagian pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materil pasal blokir internet atau pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE dalam sidang pengucapan putusan pada Rabu (27/10/2021).
Satu diantara pertimbangan tersebut adalah dalil para Pemohon bahwa norma pasal tersebut bertentangan dengan jaminan kepastian hukum hukum dan persamaan hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.
Enny menyampaikan bahwa para Pemohon mendalilkan perumusan norma dan ketentuan pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 (tentang ITE) tidak dibingkai dalam konstruksi hukum yang jelas dan tegas karena tidak diikuti dengan kewajiban administrasi berupa menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) secara tertulis sebelum memutus akses.
Sehingga, lanjut Enny, tindakan tersebut bertentangan dengan jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Baca juga: MK Sebut Dalil Pertentangan Norma Pasal Blokir Internet dengan Prinsip Negara Hukum Tidak Beralasan
Menurut Mahkamah, lanjut Enny, untuk memahami lebih lanjut mengenai tindakan pemerintah dalam ketentuan pasal 40 ayat (2b) UUU 19/2016 tentang ITE penting untuk dirujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014).
Dalam substansi UU 30/2014, kata dia, telah dinyatakan pengertian tindakan administrasi pemerintahan adalah perbuatan yang dikeluarkan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara untuk melakukan dan/atau tidal melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana termuat pada Pasal 1 angka 8 UU 30/2014.
Legalitas tindakan pemerintah, kata dia, tidak dapat dibedakan dengan KTUN secara tertulis.
Untuk itu, lanjut Enny, KTUN haruslah dimaknai juga penetapan tertulis yang juga merupakan tindakan faktual sebagaimana termuat pada pasal 87 huruf a UU 30/2014.
Artinya, lanjut dia, tindakan Pemerintah pun merupakan sebuah bentuk kewajiban administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum yang juga sama halnya dengan sebuah KTUN.
Selanjutnya, kata dia, warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan KTUN dan/atau tindakan pemerintah dapat mengajukan upaya hukum keberatan dan banding sebagaimana termuat pada Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU 30/2014.
Hal tersebut, kats Enny, sejalan dengan ketentuan Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 tahun 2019 tentang Permohonan Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (PERMA 9/2019) yang pada pokoknya setiap frasa "Keputusan Tata Usaha Negara" harus dimaknai juga tindakan Pemerintah.
Artinya, kata dia, kewenangan Pemerintah sebagaimana ketentuan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE yang diwujudkan dengan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses dapat diajukan mekanisme penyelesaiannya secara hukum melalui peradilan (due process of law).
Dengan demikian, kata dia, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 (tentang ITE), mengenai kepastian hukum dan persamaan hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.