Saksi Polisi Beberkan Pembuatan Laporan Model A dalam Kasus Tewasnya Laskar FPI
Saefullah merupakan penyidik Bareskrim Polri yang membuat surat perintah penyidikan model A dalam perkara ini.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jajaran penyidik kepolisian baru membuat laporan polisi model A untuk menyelidiki kasus dugaan pembunuhan di luar hukum alias unlawful killing, setelah mendapat hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Hal itu diungkapkan oleh Saefullah yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam persidangan sebagai saksi.
Saefullah merupakan penyidik Bareskrim Polri yang membuat surat perintah penyidikan model A dalam perkara ini.
Hal itu bermula saat Ketua Majelis Hakim PN Jaksel M Arif Nuryanta menanyakan keterkaitan Saefullah dengan perkara ini, termasuk apakah ia melihat langsung peristiwa yang menewaskan 6 anggota eks laskar FPI tersebut.
"Apa inti pokok keterangan saudara dalam kaitanya dengan perkara?" tanya Arif di ruang sidang utama PN Jaksel, Selasa (2/11/2021).
Baca juga: Sebagian Awak Media Diminta Keluar dari Ruang Sidang Saat Sidang Kasus Tewasnya Laskar FPI Digelar
Menjawab pertanyaan hakim, Saefullah mengatakan kalau dirinya tidak turut terlibat maupun melihat secara langsung peristiwa itu.
Menurut pengakuannya, peristiwa itu ia ketahui berdasarkan laporan hasil penyelidikan Komnas HAM.
Mengetahui hal itu, Hakim Arif langsung bertanya terkait tindakan yang diambil Saefullah bersama tim penyidik di Bareskrim Polri setelah membaca laporan Komnas HAM itu.
Kata Saefullah, pihaknya langsung menganalisa laporan tersebut.
Setelah itu dia bersama tim mendapatkan perintah langsung dari pimpinan yang berada di tingkat direktorat melalui surat perintah penyelidikan (Sprindik) berlanjut ke penyidikan.
"Dalam surat tugas itu disebutkan untuk apa intinya?" cecar Arif.
"Untuk melakukan penyidikan atas dugaan peristiwa pembunuhan, yang mulia," jawab Saefullah.
Tak hanya itu, Saefullah juga menjelaskan di dalam laporan itu Komnas HAM turut merekomendasikan agar dilakukan penegakan hukum terhadap para terduga pelaku.
"(Rekomendasi) dari Komnas HAM adalah salah satunya terkiat penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku," kata Saefullah.
Lebih lanjut, Saefullah mengatakan, laporan itu dibuat di Bareskrim Polri pada tanggal 22 Februari 2021.
Saat itu, jabatan Saefullah merupakan kepala penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
Hal itu dikatakan Saefullah setelah jaksa penuntut umum (JPU) turut memberikan pertanyaan serupa dalam persidangan.
"Ada dasar lain selain sehingga saudara melaporkan kasus ini?" tanya Jaksa.
"Yang mendasari atau yang melatarbelakangi adalah rekomendasi atau penyelidikan Komnas HAM," jawab Saefullah
Hal ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap Polri) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Dalam Pasal 3 ayat 5 Perkap tersebut kata Saefullah, laporan polisi model A merupakan laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau mengalami langsung peristiwa yang terjadi.
"Berdasarkan tugas pokok dan fungsi kami sebagai penyidik waktu itu menerima laporan hasil penyelidikan atas meningglanya 6 orang anggota Laskar FPI dari Komnas HAM sehingga kami selaku penyidik menindak lanjuti hal tersebut dg membuat laporan polisi model A, dan selanjutnya kami lalukan proses penyidikan," tutur Saefullah.
Mendengar jawaban itu, jaksa kembali menanyakan dasar dari laporan yang dibuat oleh Saefullah.
Sebab laporan itu dibuat beberapa bulan setelah insiden di rest area KM.50 Cikampek itu terjadi.
Hanya saja, Saefullah tidak menjabarkan secara detail terkait hal mendasar yang dilakukan pihaknya baru membuat laporan itu.
"Yang mendasari kami adalah hasil rekomendasi atau hasil penyelidikan dari Komnas HAM," tukasnya.
Jaksa Debat dengan Majelis Hakim
Pantauan Tribunnews.com, majelis hakim membuka jalannya persidangan pada pukul 10.30 WIB.
Kendati begitu, persidangan ini sempat diwarnai perdebatan.
Hal itu bermula saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) merasa keberatan lantaran tujuh orang saksi yang sedianya memberikan keterangan secara online namun pada hari ini keseluruhannya berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebab sesuai dengan panggilan dan penetapan majelis hakim di awal persidangan perkara ini, para saksi harus memberikan keterangan secara online.
Hal itu membuat jaksa dalam persidangan meminta para saksi untuk menuju ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Di sana, barulah mereka bisa memberikan kesaksian secara virtual.
"Sesuai panggilan dan penetapan majelis hakim bahwa persidangan tetap online belum ada penetapan di luar itu. Oleh karena itu kami menunggu saksi hadir di kejaksaan negeri jakarta selatan," kata jaksa dalam ruang sidang utama PN Jakarta Selatan.
Pada persidangan ini, satu saksi sudah berada di Kejasaan Negeri Jakarta Selatan.
Namun, terdapat tujuh saksi lain berada di PN Jakarta Selatan.
Atas hal itu, majelis hakim mengambil sikap untuk tidak memeriksa semua saksi yang dihadirkan.
Kata hakim, hanya ada empat orang saksi yang akan dimintai keterangan.
"Dengan melihat seperti ini majelis akan mengambil sikap bahwa persidangan ada offline terbatas saksinya tidak sebanyak yang penuntut umum hadirkan, mungkin empat dulu dan nanti tetapi satu-satu," kata ketua majelis hakim M. Arif Nuryanta.
Merespons hal itu, jaksa tetap keberatan jika saksi diperiksa sebagian secara online dan offline. Jaksa tetap merujuk pada surat penetapan yang sudah ada.
"Untuk hari ini kami tegaskan kami tetap pada surat penetapan panggilan. Mohon maaf atas keberatan kami ini dan mohon di catat alam berita acara sidang," ucap jaksa.
Hal ini didasari lantaran pada sidang pekan lalu, tim kuasa hukum kedua terdakwa meminta agar saksi di hadirkan secara offline.
Permintaan itu turut menjadi pertimbangan majelis hakim sebelum sidang ditutup.
Alhasil, majelis hakim mengambil keputusan kalau saksi yang diperiksa pada hari ini, hanya satu orang yang berada di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Adapun saksi yang akhirnya diperiksa untuk dimintai keterangan yakni bernama Saefullah yang merupakan penyidik dari Bareskrim Polri.
Dakwaan Jaksa
Pada perkara ini, terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan IPDA M. Yusmin Ohorella didakwa telah melakukan penganiayaan yang membuat kematian secara sendiri atau bersama-sama terhadap 6 orang anggota eks Laskar FPI.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan, dengan sengaja merampas nyawa orang lain," kata jaksa dalam persidangan Senin (18/10/2021).
Atas hal itu, jaksa menyatakan, perbuatan para terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.