Tuai Polemik, Ini 4 Tujuan Nadiem Terbitkan Permendikbudristek tentang Kekerasan Seksual
Nadiem Makariem beberkan 4 tujuan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Kekerasan Seksual yang menuai polemik.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Khususnya, pasal 5 dalam Permendikbudristek tersebut.
Sebagian kalangan menilai frasa dalam pasal 5 melegalkan perzinahan secara tidak langsung.
Lantas apa sebenarnya tujuan dibuatnya Permendikbudristek ini?
Baca juga: Komnas HAM Akui Tak Diajak Berdialog oleh Nadiem Makarim Terkait Rumusan Permendikbudristek
Mendikbudristek Nadiem Makarim membeberkan ada 4 tujuan utama Permendikbudsristek PPKS dibentuk.
Tujuan pertama, yakni upaya untuk memenuhi hak pendidikan setiap warga negara Indonesia atas pendidikan yang aman.
"Itu nomor satu, haknya mereka untuk mendapatkan pendidikan dengan aman," kata Nadiem dalam keterangan persnya, dikutip dari YouTube Kemendikbud RI, Jumat (12/11/2021).
Kedua, dengan Permendikbudristek, Nadiem ingin memberikan kepastian hukun bagi pemimpin perguruan tinggi untuk bisa mengambil langkah tegas.
Nadiem mengaku sering mendapat keluhan pengajar soal payung hukum penanganan tindakan kekerasan seksual di kampus.
"Banyak sekali dosen dan rektor berbicara kepada saya mengenai masalah ini."
"Tapi kadang-kadang mereka tidak tahu cara untuk mengambil tindakan karena belum dikasih payung hukum yang jelas
"Jadi, kita ingin memberikan bantuan regulasi bagi para rektor dan dekan, dan para penggerak di kampus untuk mengambil tindakan yang nyata," jelasnya.
Baca juga: Permendikbudristek Soal Kekerasan Seksual di Kampus Dinilai Perkuat Norma yang Sudah Ada
Ketiga, tujuan Permendikbusristek ini ingin memberikan edukasi tentang isu kekerasan seksual.
Seperti, apa yang dimaksud kekerasan seksual, lingkup korbannya, hingga penjelasan victim blaming.
“Apa definisi kekerasan seksual yang non fisik, apa itu kriterianya. Jadi kita ingin yang abu-abu kita jadikan hitam putih. Jelas apa yang kita maksud,” tegas Nadiem.
Tujuan akhir, Nadiem ingin Permendikbudristek ini memperkuat kolaborasi antara pihaknya dengan kampus dalam rangka menciptakan budaya akademik yang sehat sesuai dengan akhlak mulia.
Baca juga: Nadiem: Kampus Bakal Dapat Sanksi Jika Tak Terapkan Permendikbudristek
Kemudian, Nadiem juga menambahkan, Permendikbudristek ini berlaku bagi semua pihak yang berada dalam lingkungan kampus, baik itu pelaku kekerasan seksual maupun korban.
"Semua permen PPKS ini adalah ruang lingkupnya adalah siapapun, walaupun itu pelaku ataupun korban ya, kala salah satu dari mereka itu ada di dalam lingkungan kampus, permen PPKS ini berlaku,” tandasnya.
Isi Pasal 5 Permendikbudristek yang Menjadi Sorotan
Pasal 5
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
d. menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa
persetujuan korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
m. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
n. memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
(Tribunnews.com/Shella Latifa/Tio)