MA Tolak PK Eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq Terkait Kasus Korupsi Impor Sapi
Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan Luthfi Hasan Ishaq.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan Luthfi Hasan Ishaq.
Alhasil mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tetap dihukum 18 tahun penjara dalam kasus korupsi kuota impor sapi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Tolak," demikian bunyi putusan MA dikutip dari Direktori Putusan MA, Selasa (16/11/2021).
Perkara upaya hukum PK ini diputus oleh ketua majelis Suhadi dengan anggota Eddy Armi dan Ansori.
Baca juga: Ini Alasan Eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ajukan PK Terkait Kasus Suap Impor Daging Sapi
Pembacaan putusan ini dilakukan pada Senin (15/11/2021) kemarin.
Dalam permohonannya, pengacara Luthfi Hasan Ishaq, Sugiyono, menilai ada kekeliruan atas vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan MA pada tingkat kasasi.
Dia menyebutkan ada kekhilafan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap kliennya.
"Setelah mempelajari putusan pada tingkat kasasi, pemohon temukan alasan-alasan untuk mengajukan PK, adapun alasan-alasan yang sangat menentukan adalah kekeliruan hakim sangat nyata," kata Sugiyono di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Luthfi kini tengah menjalani hukuman yang membelitnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Dalam permohonan PK, Luthfi membandingkan kasusnya dengan kasus korupsi yang dilakukan mantan Ketua DPD Irman Gusman dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham.
Dia memandang, perkara korupsi yang membelitnya tidak jauh berbeda dengan mereka.
Kekeliruan mendasar hakim kasasi terhadap Luthfi Hasan, sambung Sugiyono, terkait penerapan pasal putusan yang tidak berubah yaitu pasal 12 huruf a UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Terpidana selaku penyelenggara negara sama-sama menerima uang dari pihak swasta, namun penerimaan uang tidak masuk dalam ranahnya. Pemohon tidak dilakukan secara adil oleh karena itu pemohon mengajukan PK," kata Sugiyono.
Sementara itu, terkait perkara TPPU, kata Sugiyono, perbuatan pencucian uang yang dituduhkan terhadap kliennya tidak sesuai dengan waktu penerapan UU TPPU.
"Wajib bagi penuntut umum untuk merinci detail tindak pidana yang diduga menjadi predicate crime pencucian uang. Pemohon menilai pertimbangan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak memenuhi unsur tempus delicti tindak pidana asal sehingga hanya menjadi dugaan saja," ujar Sugiyono.
Untuk diketahui, pada tingkat kasasi hukuman Luthfi Hasan Ishaq diperberat menjadi 18 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Serta ditambah dengan pencabutan hak politik usai menjalani pidana pokok.
Putusan kasasi tersebut lebih berat dari putusan tingkat pertama dan pada Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang menjatuhkan hukuman terhadap Luthfi agar dipidana selama 16 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.