Menteri PPN Suharso Monoarfa: Ketiadaan Haluan Negara Membuat Perspektif Pembangunan Memendek
Suharso Monoarfa mengatakan dirinya sempat merasakan manfaat kehadiran GBHN dalam pola perencanaan pembangunan nasional.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan dirinya sempat merasakan manfaat kehadiran GBHN dalam pola perencanaan pembangunan nasional.
Terlebih dirinya pernah terlibat langsung dalam penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada periode pemerintahan tahun 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Namun, sejak amendemen kelima konstitusi tahun 2002, keberadaan GBHN dihilangkan.
Hal tersebut memunculkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan pembangunan.
"Ketiadaan haluan negara membuat perspektif pembangunan seakan memendek menjadi hanya pada siklus lima tahunan periode kepresidenan. Menjadikan tidak adanya jaminan pembangunan yang dilakukan di satu periode pemerintahan, dilanjutkan oleh periode pemerintahan penggantinya," ujar Suharso Monoarfa dalam Webinar Series MPR RI bersama Tribun Series: PPHN Memperkuat Konsensus Sistem Presidensil, di Jakarta, Selasa (16/11/20201).
Turut hadir menjadi narasumber antara lain, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Anggota DPD-MPR RI yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan Pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Jimly Asshiddiqie, Pengamat Parlemen Sebastian Salang.
Baca juga: Suharso Monoarfa: Penyusunan PPHN Perlu Tiga Mekanisme
Hadir pula Direktur dan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network yang juga Moderator Diskusi Febby Mahendra Putra dan Domuara Ambarita.
Suharso Monoarfa mengaku dirinya pernah terlibat dalam penyusunan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjadi dasar Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Dirinya mengungkapkan bahwa suasana kebatinan saat itu, keberadaan RPJPN tidaklah dimaksudkan untuk mengganti apalagi menghilangkan haluan negara.
Karena haluan negara memuat aturan secara holistik yang melibatkan seluruh unsur yang merepresentasikan kekuatan bangsa.
Baca juga: Webinar Series MPR RI, Bamsoet Sebut Kehadiran PPHN Perkuat Sistem Presidensial
Sementara RPJPN memberikan arah bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
"Ke depannya bangsa Indonesia sangat memerlukan haluan negara sebagai penjabaran lebih lanjut dari UUD Negara Republik Indonesia 1945. Haluan negara juga menjadi menjadi dasar visi dan misi presiden dalam menyusun road map, sekaligus benchmarking perencanaan pembangunan jangka panjang, menengah, dan kerja pemerintah selama lima tahunan," kata Suharso.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, rencana MPR RI periode 2019-2024 menghadirkan kembali haluan negara dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), tidak lain juga untuk menyempurnakan bangunan ketatanegaraan Indonesia.
Baca juga: Bamsoet: PPHN Penting Untuk Mewujudkan NKRI yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur
Yaitu dengan adanya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia NRI Tahun 1945 sebagai haluan konstitusional negara dan PPHN sebagai kebijakan dasar pembangunan negara.
"Hadirnya PPHN tidak menyebabkan presiden harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR. Tanggungjawab presiden tetap langsung kepada rakyat, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat," tegas Bamsoet.
"MPR tidak berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden apabila tidak melaksanakan PPHN. MPR hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 Ayat (3) dan Pasal 7B Ayat (1)," katanya.
Bamsoet yang juga Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dari serangkaian diskusi yang dilakukan MPR dengan berbagai kalangan, pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memerlukan PPHN sebagai haluan negara dalam implementasi pembangunan.
Berdasarkan rekomendasi hasil kajian Badan Pengkajian MPR bersama Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, bentuk hukum PPHN yang paling ideal adalah melalui Ketetapan MPR.
Bukan melalui undang-undang karena sebagai haluan negara, PPHN harus mempunyai legal standing yang kuat.
Tidak dapat dibayangkan jika sebuah haluan negara diatur dalam bentuk undang-undang, yang masih mungkin 'ditorpedo' dengan PERPPU atau diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
"Bentuk hukum penetapan PPHN juga sebaiknya tidak diatur dalam konstitusi, karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat. Karena PPHN bersifat direktif, tidak normatif seperti halnya konstitusi, maka tentunya materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi," kata Bamsoet.