Fahri Hamzah Bela Fadli Zon soal Kritik Banjir Sintang ke Jokowi, Ini Alasannya
Seperti diketahui Fadli Zon ditegur Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terkait sindiran tersebut.
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, membela politikus Partai Gerindra Fadli Zon soal sindiran banjir Sintang ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Seperti diketahui, Fadli Zon ditegur Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terkait sindiran tersebut.
Menurut Fahri dalam twitnya, apa yang dialami Fadli bukanlah kasus partai politik melainkan sebagai pejabat publik.
"Orang yang digaji oleh rakyat dan negara untuk menjalankan tugas tertentu (legislatif). Jadi kita bicara bukan soal partai politik, tapi soal hak-hak rakyat pada jabatan publik," kata Fahri Hamzah di akun Twitter-nya, dilihat Kamis (18/11/2021).
Baca juga: Fadli Zon Tak Lagi Aktif di Twitter Setelah Ditegur Prabowo?
Sebagai anggota DPR RI, Fahri mengatakan bahwa Fadli memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan fungsi pengawasan itu diatur dalam Undang-Undang.
"Partai politik boleh punya aturan dan kode etik tertentu, tetapi aturan internal partai politik setinggi apa pun tak boleh menghambat jalannya seseorang menjalankan tugas yang diberikannya oleh rakyat." katanya.
Pasalnya, dikatakan Fahri, gaji dan kehormatan seorang Anggota DPR bersumber dari rakyat bukan partai politik.
Fahri lalu menyinggung batasan partai politik di dalam demokrasi. Dia mengatakan bahwa batasan tersebut yakni parpol menjadi wadah warga untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
"Ini konsep dalam demokrasi, berbeda dengan konsep dalam negara komunis atau otoriter lainnya," ucapnya.
Maka itulah, Fahri mengatakan bahwa seseorang didorong untuk menjadi pejabat eksekutif berbeda dengan pejabat legislatif.
"Pejabat eksekutif dipilih oleh rakyat dengan tugas untuk menjalankan kekuasaan dan anggaran yang diatur UU. Sementara seorang legislatif adalah mengawasi jalannya pemerintahan secara umum khususnya eksekutif," sebut Fahri.
Bagi Fahri, pengertian pejabat publik sebagai hak milik partai politik harus dihentikan.
"Selama pejabat publik dikuasai, dimiliki, dan diatur-atur dari belakang oleh partai politik terutama pejabat di lingkungan yudikatif, maka ini awal dari bencana besar. Kita tidak pernah menjadi negara yang pejabat publiknya profesional apabila dikangkangi oleh partai politik!" tandasnya.