Ketua KPK Ingatkan Mahar Politik Lahirkan Para ‘Bohir’, Solusinya Presidential Threshold Harus 0%
Firli menyebut langkah itu bisa menghilangkan "bohir" dan "balas budi" dalam politik yang cenderung menimbulkan tindakan korupsi yang dilakukan kepala
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri menginginkan presidential threshold di Indonesia menjadi 0 persen.
Firli menyebut langkah itu bisa menghilangkan "bohir" dan "balas budi" dalam politik yang cenderung menimbulkan tindakan korupsi yang dilakukan kepala daerah.
"Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi 'balik modal'.
Di sisi lain mencari bantuan modal dari 'bohir politik' akan mengikat politisi-politisi di eksekutif atau legislatif dalam budaya balas budi yang korup," ujar Firli melalui keterangan tertulis, Rabu (15/12).
Baca juga: Ketua KPK Sebut Presidential Threshold 0 Persen untuk Hilangkan Bohir dan Balas Budi Politik
Firli mengatakan, KPK telah mengkaji penyebab korupsi atas dasar pencarian dana untuk pengembalian modal saat kampanye. Data itu didapat KPK dalam enam forum bersama kepala daerah terkait pendidikan dan pencegahan korupsi yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia.
Dalam enam forum itu, KPK mendapatkan keluhan tentang mahalnya presidential threshold di Indonesia. Sehingga, calon kepala daerah yang mau maju harus mencari modal dengan bantuan "bohir" untuk bertaruh mendapatkan jabatan.
"Fakta data KPK terakhir, 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada mereka," kata Firli.
Tidak Gratis
KPK mencatat kepala daerah yang sudah menjabat harus melakukan "balas budi" ke bohir setelah mendapatkan kursi di pemerintahan daerah. Balas budi dalam hal ini bukan berupa pengembalian uang kampanye.
"Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perijinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa)," jelas Firli.
Firli menyebut prinsip "balas budi" dari "bohir" ini membuat kepala daerah melakukan tindakan koruptif dengan jabatannya.
Menurutnya, kepala daerah menggunakan kuasanya untuk menciptakan birokrasi yang korup untuk membalas budi si "bohir".
"Karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara," kata Firli.
Firli juga menyebut biaya politik yang mahal untuk mencari dana ke "bohir" bukan cuma saat kampanye. Beberapa transaksional yang biasa disebut dengan mahar juga masih sangat mahal dalam berpolitik di Indonesia.