Kaleidoskop 2021: Hilangnya Peran Oposisi di Parlemen hingga Produk Legislasi Jadi Sorotan
Peta politik nasional pada tahun 2021 tak banyak berubah dengan tahun sebelumnya pada 2020.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peta politik nasional pada tahun 2021 tak banyak berubah dengan tahun sebelumnya pada 2020.
Begitu pula yang terjadi di Parlemen Senayan atau DPR RI, tak ada perbaikan yang signifikan, justru yang hadir adalah sorotan bahkan cibiran.
Hal itu tertuju pada kerja-kerja legislatif yang dirasa kurang memuaskan di mata publik.
Misalnya saja kuantitas dari Undang-Undang yang dihasilkan, maupun kualitas Undang-Undang yang dibuat.
Lebih dari itu, hegemoni kekuatan pemerintah di Parlemen kian bertambah dengan bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam barisan penyokong pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma'ruf Amin.
Baca juga: Pengelolaan Keuangan di DPR Dinilai Tak Transparan, Pengamat Minta PP Nomor 61 Tahun 1990 Direvisi
Artinya, tersisa dua partai yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang berlabel partai oposisi atau bukan pendukung pemerintah.
Kondisi tersebut turut mempengaruhi peran DPR sebagai legislatif karena kekinian dinilai hanya sebagai 'tukang stempel' pemerintah.
PAN Gabung Pemerintah, Peran Oposisi Hilang
Partai Amanat Nasional (PAN) resmi bergabung ke partai politik (parpol) koalisi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi usai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN, pada Selasa (31/8/2021).
Menurut Viva, semua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PAN memiliki satu suara untuk menyetujui bergabungnya partai berlambang matahari terbit tersebut ke dalam koalisi pemerintah
Keputusan bergabung koalisi itu diambil dalam Rakernas yang digelar di Rumah PAN, Jakarta Selatan.
"Rakernas menyetujui PAN berada di posisi partai koalisi pemerintah dalam rangka perjuangan politik untuk membawa kebaikan dan memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara," kata Viva Yoga
Dengan demikian, mayoritas partai atau tujuh partai politik penghuni DPR RI kini menjadi bagian dari pendukung pemerintah.
Sementara, PKS dan Demokrat menjadi dua parpol berada di luar pemerintahan alias oposisi.
Jika digabungkan, kedua parpol itu hanya memiliki 18 persen kursi 15,98 persen suara.
Hal ini tentu terlihat tak ideal, karena bagaimanapun keberadaan parpol oposisi sangat dibutuhkan untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif.
Di sisi lain, PKS mengingatkan bahwa koalisi yang gemuk tersebut jangan sampai bergerak lamban dan minim ide-ide menyejahterakan rakyat.
Sebab, koalisi besar tak memastikan regulasi yang dibuat akan diterima masyarakat.
"Jangan justru menjadi koalisi yang obesitas, berbobot besar namun lamban dan minim inisiatif," kata Ketua Departemen Politik DPP PKS Nabil Ahmad Fauzi, kepada Tribunnews.com, Kamis (26/8/2021).
UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional, Produk Legislasi Tuai Kritik
Selain kondisi parlemen yang kehilangan peranan oposisi, hal lain yang tersorot mata publik adalah kinerja DPR menghasilkan produk Undang-Undang.
Satu di antaranya ditunjukkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Dalam catatan Tribunnews, Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020.
Dan pembahasannya baru dimulai 27 April 2020 oleh Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk Badan Legislasi (Baleg).
Setelah melalui pembahasan sekitar 6 bulan, DPR RI mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 pada Rapat Paripurna.
Dalam rapat itu sempat diwarnai aksi walkout dari Fraksi Partai Demokrat.
"Kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman.
Setelah disahkan melalui Rapat Paripurna, barulah UU Cipta Kerja ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020.
Usai melalui proses administrasi, UU itu diberi nomor UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan naskah final sebanyak 1.187 halaman.
Selain pembahasannya yang dinilai super ngebut dan tak aspiratif, UU Cipta Kerja menuai kontroversi karena ada beragam versi dengan jumlah halaman yang berbeda.
Hal inilah kemudian membuat kelompok masyarakat, terutama buruh mengugugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) versi Andi Gani Nena (AGN).
Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, KSPI bersama buruh Indonesia secara tegas menolak dan meminta agar UU Cipta Kerja dibatalkan atau dicabut. Menurut dia, isi UU Cipta Kerja merugikan para buruh.
"Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata dia.
Akhirnya, pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU no 11 tahun 2020 atau UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945.
MK menilai pembentukan UU tersebut tak berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
"Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan Chanel YouTube MK, Kamis (25/11/2021).
Dalam putusannya, Anwar menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku hingga dilakukan perbaikan dengan tenggat waktu dua tahun. Anwar meminta pemerintah maupun DPR melakukan perbaikan UU Cipta Kerja.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun sesuai dengan ketetapan Majelis Hakim MK UU tersebut tidak diperbaiki, maka menjadi inkonstitusional atau tak berdasar secara permanen.
"Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ujar Anwar.
Menyikapi putusan MK itu, pemerintah dan DPR pun kompak menyatakan menghormati putusan tersebut.
Kedua lembaga negara itu juga berjanji akan segera memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai arahan MK dalam waktu dua tahun.
Di balik dinyatakannya inkonstitusional UU Cipta Kerja, hal ini menjadi catatan kritis untuk menilai kualitas kinerja legislasi DPR.
Sekaligus juga bahan evaluasi bagi para pembuat Undang-Undang untuk tak menabrak konstitusi dalam setiap proses penyusunan Undang-Undang.
Selain itu, pola kerja DPR dalam pembahasan hampir semua RUU selama tahun 2021 juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja.
Ada kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elit.
Hal ini tentu harus dihindari jika tak ingin ada produk legislasi kembali dinyatakan inkonstitusional oleh MK.