Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Regenerasi Bukan Isapan Jempol; Cukup Satu atau Dua Periode bagi Para Pengurus NU

makna regenerasi tidak boleh disempitkan hanya sebatas pada posisi-posisi puncak, seperti Ketum Tanfidziyah semata.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Regenerasi Bukan Isapan Jempol; Cukup Satu atau Dua Periode bagi Para Pengurus NU
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Regenerasi Bukan Isapan Jempol; Cukup Satu atau Dua Periode bagi Para Pengurus NU

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Kemenangan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar 34 tidak lepas dari gagasan regenerasi para pendukungnya. Gagasan regenerasi ini bagai gayung bersambut, diamani sejumlah mayoritas peserta Muktamirin, dan pada gilirannya keinginan KH. Said Aqil Siradj untuk menjabat periode ketiganya pun kandas. Regenrasi terwujud.

Sebagai gagasan yang brilian, makna regenerasi tidak boleh disempitkan hanya sebatas pada posisi-posisi puncak, seperti Ketum Tanfidziyah semata. Regenerasi adalah gagasan yang bersifat universal, dan dapat mencakup seluruh struktur kepengurusan PBNU lainnya. Mengusung ide regenrasi berarti menuntut tindakan objektif untuk memformat ulang seluruh struktur kepengurusan, dan mengisinya dengan figur-figur baru, muda yang mumpuni.

Regenerasi pun bersifat kuantitatif, bisa diukur melalui mekanisme penghitungan prosentase jumlah posisi yang mesti diisi figur-figur baru. Ketika gagasan regenerasi hanya terjadi pada posisi pucuk pimpinan semata, sedangkan jabatan-jabatan di bawahnya tidak ada pergantian sama sekali, itu bukan regenerasi yang ideal. Bahkan, gagasan regenerasi bisa ditarik secara vertikal dari PB ke PW dan PC.

Berdasarkan hasil voting pada Muktamar kemarin, Gus Yahya mengantongi 337 suara dan Kiai Said sebanyak 210 suara. Angka ini setara dengan 61,6% pendukung Gus Yahya dan 38,4% pendukung Kiai Said. Dari sini pula kita dapat mengukur secara kuantitatif prosentase ideal format regenerasi kepengurusan PBNU dari Pusat sampai Wilayah dan Cabang.

Jika Gus Yahya mampu melakukan regenerasi seluruh pengurus PBNU selama masa kepemimpinannya ke depan sebanyak 61%, maka itu cukup baik. Karena bisa dibilang Gus Yahya memenuhi harapan para pendukungnya untuk melakukan regenerasi kepengurusan NU. Tetapi, bila regenerasi kepengurusan mencapai 70 sampai 80 persen, maka itu sangat ideal, sesuai dengan visinya selama ini.

Berita Rekomendasi

Mengapa regenerasi kepengurusan ini penting, karena tidak dapat dipungkiri kenyataan banyak kader-kader potensial NU dari Ansor, IPNU, PMII bahkan HMI yang menjanjikan kemajuan. Selama ini mereka belum banyak mendapatkan tempat penting di PBNU, karena terkendala oleh senior-senior mereka yang terus-menerus bercokol periode demi periode. Jika pun kelompok kategori senior ini masih mau dipakai, tentu idealnya cukup 20% atau maksimal 30%.

Hal lain yang jauh lebih penting, sebenarnya, kesadaran kaum senior ini. Mereka diharapkan jangan terlalu betah di kepengurusan struktural. Mereka perlu sadar diri bahwa apabila seorang ketua umum dibatasi berkuasa selama dua periode maka aturan yang sama juga berlaku bagi diri mereka yang duduk di bawah ketua umum. Terkesan tidak “adil” apabila hanya posisi ketua yang dibatasi dua periode.

Kesadaran diri semacam ini bagi para senior juga membuka peluang dan kesempatan bagi anak-anak muda, yang belum pernah mencicipi posisi kepengurusan, bukan hanya di PB, tetapi juga di tingkat PW dan PC. Sejauh pengamatan penulis hingga hari ini, terlalu banyak kaum senior ini enggan melepas jabatannya, sehingga mereka menjabat bisa tiga sampai empat periode berturut-turut.

Pada prinsipnya, jabatan di kepengurusan struktural adalah persinggahan sementara. Seperti allahyarham Gus Dur katakan, tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian. Setelah pernah mengabdi dan berkhidmat di kepengurusan struktural, sudah saatnya sepanjang hidup berjuang di ranah kultural. Dengan begitu, otomatis kader-kader muda yang lebih energik memiliki kesempatan yang sama. Tidak ada monopoli kaum senior di sana.

Regenerasi total orang-orang di kepengurusan juga berkaitan dengan upaya tajdid/pembaharuan. Pengertian tajdid bukan semata-mata soal gagasan ideal dan abstrak, tetapi juga harus menyentuh aspek-aspek fungsional operasional semacam ini. Sulit rasanya melakukan pembaharuan apabila orang-orang yang menyuarakannya adalah itu-itu saja. Tajdid gerakan dan pemikiran semestinya diiringi dengan tajdid kepengurusan. Sehingga pikiran dan manusianya berbarengan mengalami proses dinamika tajdid.

Mengambil nama-nama baru juga sejalan dengan prinsip “al-akhdzu bil jadidil ashlah” (mengambil orang-orang yang baru dengan pikiran-pikiran baru). Sekalipun orang-orang lama juga bisa diharapkan membawakan pikiran-pikiran baru, tetap saja pengalaman-pengalaman hidup lama mereka yang sudah mendarang daging akan ikut terbawa. Sekalipun orang-orang baru juga mungkin memiliki corak berpikir lama, tetapi jauh lebih berpeluang menawarkan pikiran-pikiran baru.

Untuk itulah, jalan tengah yang bisa ditempuh adalah memanfaatkan dua generasi; senior dan junior, namun dengan menekankan skala prioritas pada orang-orang baru dengan pikiran-pikiran baru. Prosentase orang-orang baru harus mendapatkan tempat lebih besar untuk mengisi struktur kepengurusan PBNU. Jadi, penerapan “al-muhafazhah ‘alal qadimis sholeh” cukup 20% dari orang lama, dan 80% dari orang baru atas prinsip “al-akhdzu bil jadidil ashlah.”

Alhasil, ini semua tentang nilai moral dan kesadaran personal dalam rangka mewujudkan proyek regenerasi secara ideal. Orang-orang lama yang sudah dua, tiga atau empat periode menjabat, tanpa perlu diminta, mestinya mengundurkan diri. Sebab, mekanisme memberhentikan mereka secara terhormat belum ada. Hingga hari ini, aturan yang ada hanyalah membatasi ketua umum untuk menjabat dua periode. Bahkan, presiden sebagai pemimpin negara pun idealnya cukup dua periode, tidak lebih. Penulis berharap, para senior jangan takut menjadi kultural, penulispun merasakan ketika berpindah dari struktiral ke kultural ternyata ruang gerak kultural lebih luas dan lebih fleksibel. Ayo para senior struktural temani kami berjuang di jalur kultural. Wallahu a’lam bis shawab.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas