Representasi Perempuan Dalam KPU dan Bawaslu Manyusut Sejak 2012
Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti menilai kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti menilai kehadiran perempuan di lembaga penyelenggara pemilu adalah sebuah keniscayaan.
Hal ini diungkapkan Lena dalam diskusi 'Memastikan Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu 2024' jelang penyerahan nama-nama bakal calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ke Presiden oleh tim panitia seleksi (pansel).
Lena mengatakan kehadiran perempuan sudah dijamin dan karenanya terjadi kemunduran atau defisit demokrasi usai representasi perempuan di dua lembaga tersebut berkurang drastis sejak 2012 silam.
Baca juga: Keterwakilan Perempuan Calon Anggota KPU Lebih dari 30 Persen, Pakar: Mesti Dikawal
"Padahal sejak 2007 komposisi keanggotaan kedua lembaga ini sudah memenuhi angka 30 persen di KPU dan Bawaslu, pada saat itu Komisi II DPR RI berhasil mendudukkan 3 perempuan komisioner dari 7 anggota KPU dan 3 anggota Bawaslu dari 5 anggota Bawaslu.
Tapi sejak 2012 kemudian 2017 yang lalu tidak lagi ada representasi perempuan yang mencukupi di lembaga penyelenggara pemilu karena masing-masing keanggotaan di KPU dan Bawaslu hanya diisi 1 perempuan," ujar Lena, Selasa (4/1/2022).
"Tentu saja ini merupakan kemunduran dari demokrasi, karena demokrasi tanpa menyertakan perempuan bisa kita sebut sebagai defisit demokrasi.
Baca juga: Saat Serahkan Daftar Nama ke Presiden, Timsel KPU-Bawaslu Diminta Pastikan Keterwakilan Perempuan
Kehadiran perempuan minimal 30 persen memenuhi angka critical mass 30 persen, ini sangat krusial," tambahnya.
Dia memaparkan kehadiran perempuan sangat penting untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dilahirkan agar berperspektif gender dan bisa mengakomodir kepentingan perempuan.
Karena itu, MPI mengharapkan 10 perempuan dari 28 calon anggota KPU dan 6 perempuan dari 20 calon anggota Bawaslu dapat terpilih separuhnya.
Selain itu, dia mengimbau Komisi II DPR RI untuk memperhatikan dan wajib mengakomodir representasi perempuan minimal 30 persen saat melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test).
"Dari 10 calon anggota Bawaslu yang diajukan ke Presiden dan 14 calon anggota KPU yang akan diajukan ke Presiden kami berharap separuhnya masing-masing diisi oleh perempuan. Kalau mungkin bahkan mayoritas atau seluruh perempuan yang mengikuti proses seleksi ini bisa disampaikan kepada presiden," katanya.
Baca juga: Dalam Tes Wawancara KPU-Bawaslu, Komisioner KPI Akui Cium Adanya Persaingan Antar-Tiga Lembaga Ini
"Juga kepada anggota Komisi II DPR RI bahwa fit and proper test agar dilakukan dengan mempertimbangkan politik akomodasi berdasarkan kebijakan afirmasi representasi minimal 30 persen.
Best practices yang telah kami lakukan pada tahun 2007 adalah pemilihan berupa paket dan dari paket itu minimal 30 persen perempuan harus ditulis oleh anggota Komisi II," tambah Lena.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Beni Telaumbanua menyebut ada sejumlah tantangan dalam mendorong keterwakilan perempuan, khususnya di lembaga penyelenggara pemilu.
Beni mengatakan konstruksi sosial mengenai keadilan perempuan di ruang atau institusi politik itu masih menjadi pekerjaan rumah.
"Di banyak daerah ini menjadi diskusi yang panjang bagaimana budaya patriarki itu masih melihat kehadiran perempuan tidak menjadi hal yang urgent untuk diperhatikan," kata Beni.
Tantangan lainnya terkait dengan tantangan domestik, dimana perempuan banyak mengalami kesulitan untuk membagi tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu jika berkarir di ranah ini.
Kemudian tidak mudah mengidentifikasi dan menjaring calon potensial menjadi tantangan selanjutnya.
Beni mengatakan tantangan ini terasa sekali karena waktu seleksi yang relatif pendek membuat peluang untuk menjaring sebanyak mungkin kandidat potensial menjadi terbatas.
Selanjutnya ada tantangan terkait proses seleksi dan celah regulasi. Merujuk Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, Beni mengatakan frasa memperhatikan muncul pada masalah yang mengatur proses seleksi khususnya ayat yang menjelaskan berapa jumlah yang harus diserahkan kepada presiden oleh timsel.
"Sedangkan pada proses seleksi itu ada beberapa tahapan yang diselenggarakan, baik pendaftaran, tahap pertama, kedua. Dan pada banyak kasus perempuan ini sudah gugur dari proses sebelumnya, sehingga peluang menghadirkan 30 persen keterwakilan perempuan menjadi semakin sulit," katanya.
"Kemudian gantangan terakhir adalah kepentingan politik dalam proses seleksi. Kepentingan politik ini membuat opsi keterwakilan perempuan tidak menjadi perhatian penting, terutama di proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI," pungkasnya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.