Pakar Hukum Apresiasi Dissenting Opinion Hakim Tipikor di Kasus Asabri
Kerugian negara yang dihitung dalam perkara kasus korupsi PT Asabri juga harus faktual, bukan kerugian potensi yang sifatnya belum pasti.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakkir menyebut kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi harus berdasar kerugian faktual.
Menurutnya kerugian negara yang dihitung dalam perkara kasus korupsi PT Asabri juga harus faktual, bukan kerugian potensi yang sifatnya belum pasti.
Dalam konteks ini, Mudzakkir mengapresiasi dissenting opinion Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Mulyono Dwi Purwanto yang berani berpendapat bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri sebesar Rp 22 triliun tidak tepat dan tidak terbukti karena penghitungannya bukan berdasarkan kerugian faktual.
"Kalau dessenting opinion hakim tersebut menilai dan menyimpulkan bahwa perhitungan BPK tersebut tidak mendasarkan kepada kerugian faktual atau riil/nyata, dan bisa buktikan kekeliruan metode perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara tipikor, berarti dissenting opinion tersebut dinilai sebagai sikap yang tepat dan sesuai dengan putusan MK," ujar Mudzakkir dalam keterangannya, Rabu (5/1/2022).
Menurut Mudzakkir, hakim harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, termasuk dalam perkara korupsi.
Pasalnya, independensi hakim dijamin oleh konstitusi. Terpenting kata dia, terbukti terdapat kekeliruan dalam metode perhitungan kerugian keuangan negara yang tidak berdasarkan kerugian faktual.
"Kalau menilai ada kekeliruan dalam metode perhitungan dan menyuarakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah meskipun perkara korupsi, sikap dan pandangan independensi hakim atau kemerdekaan dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam menjalankan amanat Pasal 24 UUD RI 1945," jelas dia.
Apalagi, kata Mudzakkir, putusan MK sudah menegaskan bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi merupakan kerugian negara yang faktual atau nyata, bukan kerugian dalam bentuk potensi.
Diketahui, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
"Jika hakim tidak mengikuti isi diktum putusan MK, berarti mengabaikan isi diktum putusan MK yang berarti hakim yang bersangkutan menggunakan kekuasaan kehakiman yang tidak sesuai dengan amanat Pasal 24 UUD RI 1945," kata Mudzakkir.
Sebelumnya, Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Mulyono Dwi Purwanto menilai perhitungan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi Asabri tidak tepat, tidak terbukti dan tidak mempunyai dasar.
Hal ini disampaikan oleh Hakim Mulyono yang menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam memutus empat terdakwa kasus Asabri di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (4/1/2022).