Temui Ketua Baleg DPR, Partai Buruh Desak Pembahasan UU Cipta Kerja Dihentikan
Ketua Mahkamah Partai Buruh Riden Hatam Aziz meminta, Badan Legislasi (Baleg) DPR agar menghentikan pembahasan UU Cipta Kerja.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Partai Buruh Riden Hatam Aziz meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR agar menghentikan pembahasan UU Cipta Kerja.
Pasalnya, UU Cipta Kerja itu telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal itu disampaikannya saat bertemu dengan Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.
"Intinya kami di sini meminta, menyampaikan kepada pimpinan untuk tidak lagi meneruskan pembahasan itu. Sebagai anak bangsa Indonesia saya malu. Kalau sejarah, baru kali ini proses pembuatan undang-undang dinyatakan oleh lembaga terhormat, Mahkamah Konstitusi, tapi DPR dinyatakan cacat dalam proses pembentukannya, itu malu sekali," kata Riden di Ruang Rapat Baleg DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Hari Ini, Buruh Akan Demo di Depan Gedung DPR, Tuntut soal Omnibus Law hingga RUU PPRT
Riden mengatakan, DPR harus mengintervensi PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dia menilai, kedua peraturan turunan UU Cipta Kerja itu dilarang dilanjutkan pembahasannya setelah putusan MK.
"Pascaputusan itu (MK), betul Pemerintah tidak mengeluarkan PP baru, tapi jangan lupa juga di amar putusan nomor 7 itu ditangguhkan. Yang dimaksud Bung Sabda tadi, berharap ada intervensi dari DPR untuk PP 35, PP 36, yang sifatnya strategis itu ditangguhkan," ucapnya.
Menanggapi pernyataan itu, Ketua Baleg Supratman peraturan turunan UU Cipta Kerja tak akan dilanjutkan tapi diperbaiki sesuai putusan MK.
Di sisi lain, Supratman menyebut tak ada yang salah dari aspirasi yang disampaikan Partai Buruh.
Namun, menurutnya harus ada keseimbangan aspirasi antara pengusaha dan buruh.
"Yang jelas, bahwa semua yang dituntut buruh tidak ada yang salah. Enggak ada yang salah substansinya, itu menjadi kewajiban pemerintah dan DPR untuk mendengarkan itu," pungkasnya.