Hikmahanto: Kemhan Wajib Lawan Putusan Arbitrase Singapura
Kemhan kalah dalam sengketa yang dimohonkan Navayo –salah satu perusahaan yang ikut kontrak pembuatan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan)
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
"Atas dasar kejanggalan diatas yang saat ini tengah disidik oleh Kejaksaan Agung, mengindikasikan putusan arbitrase di Singapura telah melanggar ketertiban umum (public policy) di Indonesia," katanya.
Alasan ketiga atau terakhir, berdasarkan Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara, tegas melarang aset negara termasuk aset Kemhan untuk disita.
"Sehingga permohonan Navayo untuk melakukan eksekusi ke pengadilan atas putusan arbitrase di Singapura besar kemungkinan ditolak oleh Pengadilan," pungkas Hikmahanto.
Putusan Arbitrase
Sebagai informasi, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap telah terjadi dugaan pelanggaran hukum di balik kontrak pembuatan Satelit Komunikasi Pertahanan, Kementerian Pertahanan tahun 2015 silam.
Baca juga: Terkuak, Kontrak Satelit Slot Orbit 123 Kemhan Dilakukan Lebih Dulu Sebelum Presiden Beri Arahan
Akibat dugaan pelanggaran ini, Indonesia dijatuhi putusan oleh pengadilan arbitrase internasional Inggris dan Singapura yang mewajibkan pembayaran uang dengan total Rp800 miliar.
Potensi kerugian negara ini masih bisa bertambah jika pihak lain yang dirugikan turut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase.
"Kementerian Pertahanan pada tahun 2015 melakukan kontrak dengan Avanti, padahal anggarannya belum ada, dia kontrak. Kontrak itu mencakup dengan PT Avianti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat," kata Mahfud dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Adapun duduk perkara dalam pelanggaran kontrak pengadaan satelit komunikasi pertahanan untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur ini, yaitu Kemhan membuat kontrak dengan 6 perusahaan dengan menyalahi prosedur dan melanggar hukum.
Sebab saat penandatanganan kontrak, belum ada anggaran dalam APBN untuk pengadaan tersebut.
Oleh karena kontrak tanpa anggaran negara menyalahi prosedur, pihak yang ikut perjanjian yakni Avanti menggugat pemerintah Indonesia di London Court of International Arbitration, lantaran Kemhan tak membayar sewa satelit sesuai nilai kesepakatan kontrak.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase di Inggris menjatuhi putusan pemerintah Indonesia wajib membayar uang sewa satelit Artemis plus biaya arbitrase, konsultan, dan biaya filling dengan nilai Rp515 miliar.
Pemerintah Indonesia juga menerima putusan serupa dari pengadilan arbitrase Singapura untuk membayar 20,9 juta dolar AS atau setara Rp304 miliar kepada Navayo.
"Selain dengan PT Avanti tadi, juga pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi, nilainya sampai sekarang itu 20,9 juta dolar AS ke Navayo, yang 20 juta ini nilainya Rp304 miliar," kata Mahfud.
Potensi kerugian negara ini bisa terus membengkak jika perusahaan lain seperti Detente, Airbus, Hogan Lovel dan Telesat turut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase.
Berkenaan dengan ini Mahfud telah meminta Kejaksaan Agung untuk mempercepat proses penanganan masalah tersebut.