Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemerintah Diingatkan Tak Bisa Gunakan Dana PEN untuk Pembiayaan IKN

pemerintah tak bisa menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pembiayaan terkait pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). 

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Pemerintah Diingatkan Tak Bisa Gunakan Dana PEN untuk Pembiayaan IKN
dok. DPR RI
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Anis Byarwati, mengingatkan bahwa pemerintah tak bisa menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pembiayaan terkait pemindahan Ibu Kota Negara (IKN)

Hal ini disampaikan dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu (19/1).

Dalam rapat itu dibahas Evaluasi APBN dan Program PEN Tahun 2021, serta Rencana Program PEN Tahun 2022. 

Anis menegaskan pemindahan ibukota negara tidak bisa menggunakan dana program PEN.

Sebagaimana tertuang dalam PP no.23 tahun 2020, program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional. 

“Saya mengingatkan pemerintah bahwa program PEN harus tepat sasaran yaitu percepatan penanganan Covid-19, pemulihan dan penyelamatan ekonomi nasional. Sehingga, jika pembiayaan pemindahan ibukota negara menggunakan dana PEN, maka pemerintah telah melanggar UU no.2 tahun 2020,” ujar Anis, dalam rapat tersebut, Rabu (19/1/2022).

Baca juga: IKN Baru Dinamakan Nusantara, Wapres Maruf: Doakan Saja Semoga Sukses

Anis turut membahas Produk Domestik Bruto (GDP) per kapita. Ia mengatakan ketika kita ingin menilai kinerja kita, maka akan lebih nampak capaiannya ketika disandingkan dengan capaian negara lain. 

Berita Rekomendasi

Dia lantas merujuk data yang dikeluarkan oleh World Bank yang menyandingkan capaian GDP per kapita Indonesia dengan negara tetangga Malaysia dan Thailand. Pada rentang tahun 1970-1996 (sebelum krisis moneter), grafik Indonesia melandai. Kalaupun ada kenaikan, naiknya hanya sedikit sekali.

Sementara pertumbuhan ekonomi Malaysia dan Thailand meroket. Pada tahun 1996, GDP per kapita Indonesia hanya 1.100 USD, sementara Thailand menjadi 3.000 USD, dan Malaysia nyaris 5.000 USD.

Setelah krisis moneter pada rentang tahun 1999-2011, Indonesia relative bisa sama pertumbuhannya dengan Malaysia dan Thailand, dimana grafiknya terus naik. 2012-2020, grafik kita melandai lagi. 

Sementara Malaysia dan Thailand, meski sempat turun naik, terus meroket. Pada tahun 2020, saat GDP Malaysia sudah di angka 10.400 USD per kapita per tahun dan Thailand sudah 7.000 USD, Indonesia masih di angka 3.800 USD. “Perbandingan ini baik untuk evaluasi  kesejahteraan masyarakat kita,” kata Anis. 

“Dengan GDP Malaysia yang jauh diatas Indonesia, maka sangat wajar jika banyak diantara rakyat Indonesia yang tergiur untuk mengadu nasib di negara tetangga. Hal ini mungkin yang menjelaskan mengapa 3 juta lebih rakyat Indonesia mencari nafkah di Malaysia,” tambahnya. 

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengingatkan pemerintah agar tidak asyik dengan data dan capaiannya sendiri, kemudian lupa bahwa data itu ternyata masih jauh dibandingkan dengan negara lain. 

Realita di lapangan, angka-angka capaian yang disampaikan pemerintah nyatanya belum berdampak signifikan untuk kehidupan rakyat. 

“Masih sangat banyak rakyat yang hidup susah. Bagaimanapun, APBN merupakan instrument kesejahteraan rakyat,” ucapnya.

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyampaikan data Bank Dunia yang kembali menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah bawah atau lower middle income. 

Peringkat per 1 Juli 2021 ini turun dibandingkan sebelumnya, di mana Indonesia sudah menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) pada 1 Juli 2020. 

Baca juga: Satgas Pembangunan IKN Tunggu Instruksi Bangun Infrastruktur Dasar dan Istana

“Posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas hanya mampu bertahan sebentar saja. Dalam waktu satu tahun, Indonesia harus kembali sebagai negara kelas menengah bawah,” ujarnya.

Oleh karena itu, politisi senior PKS ini kembali mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dengan data pribadi tanpa ada pembanding. Apalagi hutang Indonesia semakin menumpuk. 

Secara tegas, Anis menyinggung kinerja pemerintah yang harusnya fokus dan tidak mengurusi hal-hal lain seperti pemindahan ibukota negara. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas