Sosok KH Imam Jazuli, Kiai Pencetus Gerakan Ngaku NU Wajib Ber-PKB
Seorang alim ulama yakni KH Imam Jazuli, belakangan ini mengungkapkan fakta baru terkait NU dan PKB dengan mencetuskan gerakan Ngaku NU Wajib ber-PKB
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Hubungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tengah menjadi sorotan.
DI sisi lain, seorang alim ulama yakni KH Imam Jazuli, belakangan ini mengungkapkan fakta baru terkait NU dan PKB.
Bahkan ia akan menjadi pencetus gerakan "Ngaku NU Wajib ber-PKB".
Lantas siapa profil KH Imam Jazuli?
Baca juga: Diminta Jokowi Pulang, PBNU Sudah Komunikasi dengan Ainun Najib
Imam Jazuli adalah pria kelahiran Cirebon, 17 November 1976.
Mengutip dari laman resmi Pesantren BIMA, Imam Jazuli merupakan generasi ketiga pengasuh pesantren yang dulu bernama Pondok Pesantren Al Ikhlas Tegal Koneng.
Sang pendiri adalah kakek Imam Jazuli, yakni KH. Sirojuddin tahun 1942.
Sepeninggal KH. Siroj, pesantren diteruskan oleh putra sulungnya, yaitu KH. Anas Sirojuddin, alumnus Pondok Pesantren Kempek dan Pondok Pesantren Lasem.
Di masa kepemimpinan KH. Anas Sirojuddin, sistem dakwah dan pendidikan di pesantren diperluas dengan mendirikan lembaga formal, antara lain: Madrasah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah, PAUD, dan TK. Semua lembaga tersebut diberi nama Al-Ikhlas.
Atas restu KH. Anas Sirojuddin, pada tahun 2012 , Pondok Pesantren Al-Ikhlas diubah nama dan sistemnya secara total oleh putra bungsunya, yaitu KH. Imam Jazuli, Lc. MA, yang menjadi generasi ketiga dari KH.Sirojuddin.
Nama pesantrennya diganti menjadi Pesantren Bina Insan Mulia (Pesantren BIMA)
Riwayat Pendidikan
Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri;
Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy;
Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy;
Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies;
Riwayat Karier
Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon;
Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia);
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Tribunnews.com sebelumnya memberitakan, setelah berakhirnya Muktamar NU yang memilih KH. Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum PBNU, hubungan antara PBNU dengan PKB akhir-akhir sedang hangat. PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar tampaknya tak semesra dengan PBNU ketika dipimpin KH. Said Aqil Siradj.
Beberapa kejadian seperti dipanggilnya pengurus NU Banyuwangi dan Sidoarjo oleh PBNU dan mendapatkan arahan Gus Yahya tentang sikap NU di politik praktis serta tidak hadirnya Muhaimin Iskandar di acara pelantikan PBNU di Kalimantan Timur menjadi indikator hubungan PKB dan NU hari-hari ini sedang hangat.
Beberapa pengamat berpendapat menghangatnya situasi antara lembaga Ormas dan Partai ini disinyalir karena kurang diakomodirnya beberapa kader PKB dalam susunan kepengurusan PBNU yang dipimpin Gus Yahya.
Melihat situasi ini, Kiai Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, setelah bertemu dengan fungsionaris PKB mengungkapkan pandangannya tentang relasi hubungan antara NU dan PKB.
“Dua hari lalu Ketua Fraksi PKB DPR RI, (saya memanggilnya) Kang Cucun bersilaturahim ke pesantren kami, ini adalah silaturahim kali kedua beliau setelah sebelumnya kesini dengan ketum PKB cak Imin, obrolan berlangsung hingga malam,” kata Kiai Imam, Rabu (2/2/2022).
Baca juga: MoU PBNU dengan KKP untuk Akses Permodalan dan Pasar Kampung Nelayan Binaan
Kiai Imam dalam kapasitasnya yang bukan pengurus PKB, bukan pula Pengurus NU, namun sebagai NU Kultural menyatakan kecintaannya terhadap NU yang kaafah alias total. Menurut Kiai Imam harus diakui dengan jelas bahwa PKB lahir dari rahim NU dan sebagai alat Politik NU.
“Jadi kalo mengaku cinta NU ya otomatis 'wajib' cinta PKB, ngaku NU tapi tidak ber-PKB, ya dipertanyakan ke NU annya, paling tidak seperti emas cuma 15 Karat,” kata Kiai Imam.
Alumni Pesantren Lirboyo ini lalu menceritakan kisah ayahanda “Dulu kyai Sanusi Gunung Puyuh Sukabumi itu secara ubudiah ( prilaku ibadah) ala NU total, tetapi secara politik tidak mau memilih NU tapi memilih Masyumi, maka lahirlah ormas PUI (Persatuan Umat Islam) yang didirikan bersama Kiai Abdul halim Majalengka. Jadi PUI itu bukan NU, karena belum kaffah dalam ber NU-nya,” katanya.
Padahal menurut Kiai Imam, semestinya sadar politik adalah aspek terpenting dalam membesarkan Jamaah dan Jamiyyah NU, itu yang dicontohkan oleh walisongo khususnya sunan Giri, sunan Gunung Djati, Jalur politik langkah yang paling cepat dan tepat untuk dakwah lebih luas, jadi kesimpulannya " ngaku NU wajib ber-PKB,” katanya.
Kiai Imam berpendapat penting rasanya untuk menyadarkan Nahdiyyin bahwa realitasnya hanya PKB alat politik NU saat ini, dan hanya PKB yang terbukti konsisten berjuang secara totalitas untuk Pesantren dan NU.
“Nahdiyyin berhutang banyak dengan PKB, bahkan saya lebih heran lagi Jika ada yang "ngaku gus durian" tapi membenci atau paling tidak antipati terhadap PKB, padahal gus Durlah yang mendirikan PKB untuk kepentingan Politik Nahdiyyin,” katanya.
Untuk itu Kiai Imam merasa perlu menjadi motor penggerak gerakan “Ngaku NU Wajib ber-PKB”. Gerakan ini diwujudkan dengan mencetak ribuan kaos bertuliskan jargon tersebut.
“Saya kadang membayangkan, jika warga Nahdiyyin yang konon berjumlah 80 juta itu, 30 % nya saja sadar politik yaitu dengan ber PKB, tentu PKB akan menjadi pemenang pemilu di 2024, dan itu akan menjadi kemenangan Nahdiyyin, tapi kesadaran politik seperti itu pasti itu tidak disenangi banyak pihak, bisa jadi ada pihak yang didorong untuk memisahkan NU dengan politik/PKB. Dengan mencairkan politik warga NU menjadi multi partai (bebas partai apa saja), tujuannya agar lemahnya partai politik milik NU sehingga secara politik NU lemah. Itu hanya dugaan saya saja sebagai orang yang awam politik,” kata Kiai Imam Jazuli.
(Tribunnews.com/Chrysnha)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.