UU IKN Digugat ke Mahkamah Konstitusi, Moeldoko: Janganlah Kita Egois
Pemerintah menanggapi soal digugatnya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Penulis: Reza Deni
Editor: Adi Suhendi
Pembahasan RUU ini terbilang cepat karena hanya memakan waktu 43 hari, terhitung sejak 7 Desember 2021.
Hingga kini, UU itu masih menunggu tanda tangan dari presiden untuk selanjutnya diundangkan.
Terbaru, UU IKN digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah warga yang menamakan diri sebagai Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).
PNKN sendiri digawangi oleh mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, mantan anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara, politikus Agung Mozin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Muhyiddin Junaidi, dan 7 orang lainnya.
Dilansir dari dokumen yang diunggah laman resmi MK, gugatan itu didaftarkan pada 2 Februari 2022.
Para pemohon mengajukan gugatan uji formil atas UU IKN lantaran pembentukan UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Siap Pindah ke IKN Nusantara, Firli Bahuri: KPK Hanya Berkedudukan di Ibu Kota Negara
Pembentukan UU IKN dianggap tidak melalui perencanaan yang berkesinambungan, mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.
Para pemohon juga menilai, pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi substansial ibu kota negara ke peraturan pelaksana.
"Dari 44 pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana," tulis pemohon.
Selain itu, menurut para pemohon, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Pemohon mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat menolak pemindahan ibu kota negara.
Sejalan dengan itu, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN. Berdasar penelusuran pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh yang dokumen dan informasinya bisa diakses publik.
"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.
Mengacu pada hal-hal tersebut, pemohon menilai bahwa pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.