Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Eks KSAU Ungkap Kisah Dirinya Harus Izin Singapura saat Hendak Kirim Logistik Pasukan ke Natuna

Ia mengaku kaget ketika dia harus meminta izin dari otoritas penerbangan Singapura, saat akan mengirimkan logistik ke Natuna.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Eks KSAU Ungkap Kisah Dirinya Harus Izin Singapura saat Hendak Kirim Logistik Pasukan ke Natuna
Tangkapan Layar: Kanal Youtube Forum Insan Cita
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persoalan wilayah informasi penerbangan atau flight information region (FIR) di sekitar Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna masih menjadi polemik.

Hal ini menyusul perjanjian antara Indonesia dan Singapura yang dirasa belum betul-betul sebagai pengambilalihan FIR.

Seperti diketahui, FIR di wilayah-wilayah tersebut berada dalam pengelolaan Singapura sejak Indonesia merdeka.

Hal tersebut menyusul mandat International Civil Aviation Organization (ICAO) yang menilai Indonesia belum siap secara infrastruktur.

Setelah puluhan tahun persoalan ini tak terselesaikan, pemerintah Indonesia kini sudah menandatangani perjanjian dengan Singapura menyangkut FIR.

Rencananya, perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura akan diratifikasi lewat Peraturan Presiden (Perpres)

Mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menceritakan awal mula keseriusan pemerintah mengurus pengambilalihan kontrol atas flight information region (FIR) wilayah udara Indonesia dari tangan Singapura.

Berita Rekomendasi

Marsekal Chappy mengatakan dirinya baru mengetahui 1974, saat dia ditugaskan untuk menerbangkan pesawat Dakota untuk tugas dukungan logistik pasukan di perbatasan.

Saat itu ia belum lama menyelesaikan pendidikan di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di tahun 1971 dan menyelesaikan Pendidikan Penerbangan di 1973, dan memulai tugas operasional di skwadron 2 pada tahun 1974.

Baca juga: Legislator Golkar: Ratifikasi FIR dengan Singapura Melalui UU, Bukan Perpres

Ia mengaku kaget ketika dia harus meminta izin dari otoritas penerbangan Singapura, saat akan mengirimkan logistik ke Natuna.

“Pada saat saya ingin berangkat dari Tanjung Pinang menuju Natuna, saya terperanjat karena harus mendapatkan clearance dari otoritas penerbangan Singapura. Ini sesuatu yang aneh bagi saya,” kata Chappy dalam sebuah diskusi baru-baru ini.

Menurutnya meminta izin terbang ke negara lain di wilayah yang masih ada dalam negara sendiri adalah sesuatu yang aneh.

Namun mulanya isu ini tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah saat itu. “Ketika itu, masalah yang seperti ini saya angkat semuanya tidak ada yang peduli,” ujarnya.

Saat itu, ia tidak dapat berbuat banyak dan hanya melaporkan isu tersebut di tingkat levelnya saat di skuadron.

Baca juga: Lebih Aman dan Ramah Lingkungan, Taksi Terbang Listrik Rute Singapura-Indonesia Meluncur 2024

Seiring perjalanan karirnya di TNI AU, saat Marsekal Chappy menjabat Direktur Operasi dan Latihan (Diropslat) TNI AU (1996-1997), ia kembali mengangkat isu ini karena menghadapi banyak masalah terkait kedaulatan wilayah udara.

Pada tahun 2003, ketika dirinya menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, ia mengusulkan untuk menghentikan semendatar DCA Territory Training, karena banyak permasalahan yang salah satunya terkait FIR.

Isu FIR baru mencuat setelah dirinya membawa isu tersebut ke Komisi 1 DPR RI dan melaporkannya langsung ke Panglima TNI, hingga sampai kepada Presiden RI.

Pada tahun 2015, Marsekal Cheppy mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan secara langsung soal FIR kepada Presiden RI Joko Widodo dan tidak lama kemudian Presiden mengeluarkan perintah untuk mengambil alih FIR Singapura.

Gong terakhir yang menjadi puncak terjadi pada Selasa, tanggal 25 Januari 2022.

Sebagaimana diketahui Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani tiga perjanjian kerja sama strategis bidang politik, hukum dan pertahanan keamanan dalam pertemuan Leaders’ Retreat di Bintan, Kepulauan Riau.

Salah satunya persetujuan tentang penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia - Singapura (Flight Information Region/FIR).

“Presiden RI sendiri mengatakan, bahwa sekarang FIR Jakarta telah mencakup seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia, itu pernyataan Presiden pada pidato tanggal 25 Januari,” ujarnya.

Namun ada hal yang menjadi perhatian baginya, yakni terkait sosialisasi secara lebih utuh perjanjian yang disepakati antara RI – Singapura.

Menurutnya 3 dokumen yang disepakati dan ditandatangani, yang salah satunya terkait FIR adalah hal yang penting untuk dikaji agar pemerintah mendapatkan masukan dari para pakar.

Ia juga menekankan pentingnya kedaulatan negara di udara bagi Indonesia di masa sekarang dan di masa-masa yang akan datang.

“Saya menggarisbawahi tentang sumber daya alam. Apabila wilayah udara itu kita berlakukan sebagai sumber daya alam, maka sumber daya alam itu harus dikuasai negara dan diperuntukan secara maksimal bagi kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Perlu disahkan melalui UU

Pemerintah dinilai perlu mengajukan proses pengesahan Perjanjian Flight Information Region (FIR) Indonesia-Singapura ke DPR dengan Undang-undang. Karena pemerintah harus akuntabel terhadap rakyat.

Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana kepada Tribunnews.com, Jumat (18/2/2022).

Rektor Universitas Jenderal A. Yani ini menjelaskan akuntabilitas pemerintah tercermin dalam tiga hal.

Pertama, transparansi.

Transparansi perjanjian FIR 2022 perlu dilakukan untuk memastikan apa yang diklaim oleh pemerintah bahwa pengelolaan FIR telah diambil alih oleh Indonesia dari Singapura berdasar.

Baca juga: Legislator Golkar: Ratifikasi FIR dengan Singapura Melalui UU, Bukan Perpres

Hingga saat ini pemerintah belum pernah membuka perjanjian FIR 2022 kepada publik.

"Bila pengesahan perjanjian FIR 2022 dilakukan dengan Perpres maka publik baru akan mengetahui isi perjanjian pada saat Indonesia telah diikat secara sempurna," ujarnya.

Kedua, akuntabilitas terkait alasan pemerintah membuat perjanjian FIR 2022 harus diungkap.

"Apakah ini sejalan dengan amanat dari Pasal 458 UU Penerbangan?" Demikian ia mempertanyakan.

Pun apa alasan pemerintah untuk mendelegasikan kembali ke Singapura di wilayah tertentu kedaulatan Indonesia dalam ketinggian hingga 37,000 kaki?

Apakah ini berarti Indonesia sejak 1946 hingga sekarang belum mampu melakukan pengelolaan FIR untuk seluruh wilayah yang berada dalam kedaulatan Indonesia?

Baca juga: Eks KSAU Sempat Heran Harus Minta Izin Singapura untuk Terbang dari Tanjungpinang ke Natuna

Apakah pemerintah tidak memiliki cetak biru untuk mengambil alih secara penuh?

Lalu bagaimana nasib cetak biru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 55 Tahun 2016?

"Lalu apa yang menjadi alasan pemerintah untuk mendelegasikan ke Singapura untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang? Padahal Pasal 458 UU Penerbangan jelas mengamanatkan pendelegasian harus diakhiri pada tahun 2024," jelasnya.

Terakhir akuntabilitas dalam bentuk pemerintah harus dapat menepis berbagai kecurigaan publik.

Beberapa diantaranya adalah apa yang menjadi perbedaan antara Perjanjian FIR 2022 dengan Pasal 2 ayat (1) dari Perjanjian FIR 1995?

Baca juga: Cerita FIR di Masa Lalu: Marsekal TNI AU Kaget, Kirim Logistik ke Natuna Harus Izin ke Singapura

Pasal 2 ayat (1) Perjanjian FIR 1995 menentukan “Pemerintah Indonesia mendelegasikan ke Singapura ruang udara 90 nm dari SINJON (01 13'24"N 103 51'24"E) hingga ketinggian 37,000 kaki dalam penyesuaian FIR Jakarta dan selatan Singapura, yang disebut sebagai Sektor A…”

Lalu ada kecurigaan publik mengapa pemerintah bersedia untuk mengikuti kehendak Singapura untuk men-tandem-kan tiga perjanjian sekaligus yaitu Perjanjian FIR, Perjanjian Pertahanan dan Perjanjian Ekstradisi?

Apakah pemerintah telah berhitung konsekuensi dari langkah cerdik Singapura? Apa yang didapat dari pemerintah? Apakah sekedar buron? Apakah memadai bila buron ditukar tentang hal yang berkaitan dengan kedaulatan?

"Akuntabilitas pemerintah diatas perlu dilakukan di DPR sebagai representasi rakyat dan dalam forum terbuka," tegasnya.

Mahfud: Segera diratifikasi

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemerintah akan segera meratifikasi tiga perjanjian kerja sama dengan pemerintah Singapura yang ditandatangani pada 25 Januari 2022 lalu.

Tiga perjanjian tersebut yakni tentang Flight Information Region (FIR), Defence Cooperation Agreement (DCA), dan ekstradisi.

"Di dalam tata hukum kita perjanjian internasional itu harus diratifikasi agar punya daya laku. Untuk itu pemerintah memutuskan akan segera memproses ratifikasi," kata Mahfud MD dalam kanal Youtube Kemenko Polhukam RI, Rabu (16/2/2022).

Mahfud MD mengatakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang, proses ratifikasi dua dari tiga perjanjian tersebut harus melibatkan DPR.

Dua perjanjian tersebut, kata dia, yakni perjanjian tentang DCA dan ekstradisi.

"Itu menurut Undang-Undang harus diratifikasi oleh DPR," kata Mahfud MD.

Pemerintah, kata dia, bersyukur tiga perjanjian tersebut telah bisa diselesaikan pada awal tahun ini.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas