Lemahnya Peran MKD, Diduga Jadi Penyebab Anggota DPR RI Tidak Patuh Setor LHKPN
Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang kode etik ini tidak memberikan ruang yang cukup untuk adanya inisiatif dari MKD.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengeluarkan riset terkait dengan tingkat kepatuhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada periode 2020.
Hasilnya, hanya 66,61 persen dari 575 anggota DPR selama pada periode 1 Januari - 3 Maret 2020 yang melaporkan LHKPN ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait hal tersebut, Peneliti IPC Muhammad Ichsan membeberkan temuannya soal hubungan atau korelasi atas masih minimnya anggota DPR RI yang melaporkan LHKPN.
Kata dia, ada kelemahan yang dihadapi lembaga etik di DPR RI.
"Ternyata dengan kelemahan yang dihadapi oleh lembaga etik di DPR RI itu sendiri, yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kelemahannya itu terdapat pada perannya yang cukup lemah dalam pengawasan etik anggota," kata Ichsan dalam diskusi bertajuk 'Kewajiban Lapor Harta dan Kepatuhan Anggota' secara daring, Minggu (27/2/2022).
Baca juga: Data IPC: Hanya 66,61 Persen Anggota DPR RI yang Patuh Setor LHKPN ke KPK Periode Tahun 2020
Secara normatif kata dia, peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang kode etik ini tidak memberikan ruang yang cukup untuk adanya inisiatif dari MKD.
Sehingg seluruh pelanggaran terkait etik ini terkesan hanya menunggu akan adanya pengaduan.
"Pun kondisi ini kemudian dikonfirmasi oleh teman-teman MKD sendiri mereka tidak punya kemampuan dan kewanangan yang cukup untuk muncul dan mendahulukan inisiatif yang mereka temui," beber Ichsan.
Hal itu lantas yang kata dia, harus menjadi catatan internal MKD, sebab dalam undang-undang tertuang kalau harta kekayaan ini diwajibkan dilaporkan secara periodik oleh pejabat negara.
Itu juga kata dia, harus diperkuat oleh sanksi yang menyertai. Atas hal itu, Ichsan memberikan kesimpulan dan rekomendasi dengan memberikan catatan untuk MKD memperbaiki peraturan kode etik, terlebih dalam kewajiban anggota dalam menyetorkan LHKPN.
"Ini patut mendapat perbaikan khususnya dalam kewajiban anggota seperti LHKPN dengan penguatan peran lembaga penegak etik pada bagian pengawasan dan sanksi terkait," tukas dia.
Sebelumnya, Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengeluarkan hasil riset internal yang dilakukannya terhadap tingkat kepatuhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas penyetoran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama periode 2020.
Di mana dalam datanya, pada kurun waktu 1 Januari - 31 Maret 2020, IPC mendapati tidak semua wakil rakyat yang duduk di perlemen itu menyetorkan LHKPN pribadinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tercatat kata Peneliti IPC Muhammad Ichsan, hanya ada 66,61 persen anggota DPR RI yang melaporkan LHKPN ke KPK secara periodik.
"Kami mendapati tingkat kepatuhan dari anggota DPR RI ini sendiri berkisar di angka 66,61 persen artinya hanya 66,61 persen dari total 575 anggota (DRP RI) yang menyetorkan LHKPN ke KPK," kata Ichsan dalam diskusi bertajuk 'Kewajiban Lapor Harta dan Kepatuhan Anggota' secara daring, Minggu (27/2/2022).
Dari data yang didapati tersebut, IPC kata Ichsan melakukan penelaahan lebih jauh terkait dengan para anggota DPR RI dengan membreakdown berdasarkan partai politik yang dinaungi oleh anggota DPR RI.
Di mana setelah dilakukan penelaahan, hasilnya terdapat tiga nama partai atau fraksi terendah tingkat kepatuhan anggotanya dalam menyetorkan LHKPN ke KPK.
Itu di antaranya PKS 56,0 persen, PAN 52,27 persen dan terakhir PKB 34,48 persen, sedangkan fraksi tertinggi nilai kepatuhannya berdasarkan data IPC yakni NasDem dengan 88,14 persen.
"Fraksi yang anggotanya mengumpulkan LHKPN ke KPK itu dipimpin oleh fraksi partai NasDem sedangkan fraksi PKB berada di urutan paling terakhir tingkat kepatuhannya," kata Ichsan.
Adapun alasan Ichsan melakukan penelaahan terhadap Partai Politik tersebut, karena menurut dia Parpol memiliki kewenangan untuk memastikan anggotanya menyetorkan laporan LHKPN ke KPK.
"Kenapa kami membreakdown ini ke dalam tingkat kepatuhan fraksi, karena dalam perspektif kami dan apa yang kami dapatkan policy paper partai itu memiliki kemampuan untuk memastikan etik anggotanya masing-masing di DPR RI melalui fraksi yang ada," imbuh Ichsan.
Sebagai informasi, jika merujuk pada laman Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta (dilmilti-jakarta.go.id) terdapat aturan yang mengatur perihal kewajiban penyelenggara negara dalam melaporkan LHKPN.
Di mana hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Serta, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman LHKPN.
Menyikapi hal tersebut, anggota DPR RI Johan Budi mengungkapkan, ada dua alasan banyak anggota dewan yang banyak tak melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Pertama, kata Johan, banyak anggota DPR yang memahami bahwa melaporkan LHKPN hanya disampaikan saat sebelum dan sesudah menjabat.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk 'Kewajiban Lapor Harta dan Ketidakpatuhan Anggota', Minggu (27/2/2022).
"Ketika jadi anggota DPR waktu itu saya lapor kemudian menjadi anggota DPR lapor lagi. Kemudian baru itu ada yang berpendapat ya saya kalau sudah tidak lagi jadi anggota DPR, baru saya lapor. Jadi mau melaporkan kekayaan sebelum dan setelah, ini analisa subjektivitas saya," ucap legislator PDI Perjuangan itu.
Kedua, lanjut Johan, tidak ada sanksi atau punishment yang diatur dalam UU nomor 28 tahun 1999, bagi penyelenggara negara yang tak melaporkan LHKPN.
Dirinya pun pernah mengusulkan agar merevisi aturan itu agar ada sanksi yang diberikan kepada mereka yang tak menyampaikan LHKPN ke KPK.
"Jadi ini juga didalam tulisan saya wkatu iti saya mengsulkan untuknmemperkuat KPK, jadi ada semacam punishment sehingga kita perlu revisi Uu 28 tahun 1999, ada punishment bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN kepada KPK," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.