Pandemi Alasan Pemilu 2024 Ditunda, DPD: Pilkada 2020 Itu Kasus Sedang Tinggi Tapi Bisa Berhasil
alasan pandemi Covid-19 yang dijadikan salah satu alasan soal usul Pemilu 2024 ditunda tidaklah tepat.
Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komite I DPD RI, Abdul Kholik, menilai alasan pandemi Covid-19 yang dijadikan salah satu alasan soal usul Pemilu 2024 ditunda tidaklah tepat.
"Karena kemarin kita Pilkada 2020 itu pandemi lagi tinggi-tingginya," kata Abdul dalam webinar yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Sabtu (5/3/2022).
Bahkan, saat itu Abdul dan jajaran Komite I DPD RI lainnya meminta secara resmi agar Pilkada 2020 ditunda.
Hal tersebut berkaca pada sejumlah survei publik yang ingin agar Pilkada 2020 ditunda.
"Toh Pilkada bisa berjalan baik, bahkan kita bangga kita bisa menjadi contoh sukses menggelar Pilkada di masa pandemi," kata Abdul.
Abdul lebih lanjut mengatakan bahwa Pemilu 2024 yang berjalan bisa digelar secara efisien.
Dia menjelaskan di antaranya soal penggunaan E-KTP yang sudah 99 persen perekaman sehingga hanya perlu dua tahapan, yakni DPT hingga DPT perbaikan.
"Kedua soal pencalonan yang masih ada problem. Sekarang kan calonnya banyak dan kertas suara banyak. Padahal di lapangan tidak ada partai yang memperoleh suara 100 persen, 50 persen juga tidak ada. Jadi kalau disederhanakan jumlah calonnya hanya 50 persen itu masih sangat visible dan itu menghemat biaya," kata Abdul.
Baca juga: MPR RI Diminta Dengarkan Suara Rakyat Terkait Amandemen Masa Jabatan Presiden
Selain itu, Abdul menyarankan perlu ada pengumuman yang lebih disederhanakan melalui website, hingga soal pengurangan cadangan surat suara.
"Sekarang ini kan rumusnya 100 persen plus cadangan 2,5 persen. Tapi kita lihat pemilih kita setiap Pemilu kisarannya maksimal 80 persen sudah sangat bagus, artinya kita ada pemborosan logistik kurang lebih 20-30 persen plus 2,5 persen," tambah dia.
Abdul juga mengatakan soal perlunya penyederhanaan saksi dan relawan di TPS.
"Opsi itu penghematannya mungkin mencapai 50 persen, dengan Rp86 trililun (dana APBN untuk Pemilu) menjadi Rp50 triliun atau Rp45 triliun. Model ini bisa ditempuh dengan cara revisi UU Pemilu dan uji materi pasal-pasla terkat itu dengan yurisprudensinya diajukan soal Pemili serentak," kata dia.
"Karena legal standing Pemilu serentak salah satunya soal biaya, saya kira bisa dari situ juga pintu masuknya. Tapi apapun skenario ini sangat mungkin bisa dilakukan," pungkasnya.