Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Plagiarisme Marak Terjadi di Dunia Pendidikan, Akademisi UNS Singgung soal Mentalitas

Akademisi UNS menanggapi maraknya kasus plagiarisme di dunia pendidikan. Menurutnya, plagiarisme adalah masalah mentalitas.

Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Plagiarisme Marak Terjadi di Dunia Pendidikan, Akademisi UNS Singgung soal Mentalitas
recruitingdaily.com
Ilustrasi plagiarisme. Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D menanggapi maraknya kasus plagiarisme di dunia pendidikan. 

TRIBUNNEWS.COM - Kasus-kasus plagiarisme atau penjiplakan dari karya orang lain, marak terjadi di lingkungan akademisi.

Bahkan, hal tersebut mungkin saja sudah menjadi kebiasaan banyak orang.

Menanggapi fenomena tersebut, Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D. turut menanggapinya.

Menurut Sri Hastjarjo, kasus plagiarisme sebenarnya erat kaitannya dengan mentalitas diri seseorang.

"Sebenarnya, masalah plagiarisme itu masalah mentalitas, kok," kata Sri Hastjarjo saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Kamis (24/3/2022).

Dalam kaitannya dengan pembelajaran, dari awal mahasiswa telah diberikan pengetahuan tentang penulisan ilmiah.

Termasuk pembekalan mengenai etika akademik yang erat kaitannya dengan plagiarisme.

Baca juga: Pentingnya Pembelajaran Bahasa Asing Usia Dini untuk Kuatkan Agenda Pendidikan di Indonesia

Baca juga: Universitas Negeri Padang Dukung Penuh Program JKN-KIS

Berita Rekomendasi

Tentu, kata Sri Hastjarjo, mahasiswa mengerti tentang plagiarisme dan bagaimana menghindarinya.

"Di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS (contohnya), saya mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia untuk mahasiswa semester satu."

"Dalam mata kuliah itu, yang dibahas adalah teknik penulisan ilmiah, teknik sitasi/kutipan yang benar, etika akademik."

"Termasuk bagaimana menghindari plagiarisme, dan materi tentang berbagai jenis tulisan ilmiah dari review literatur, penulisan paper atau makalah, artikel jurnal, sampai bagaimana menulis laporan penelitian."

"Jadi mahasiswa tidak punya alasan bahwa mereka tidak tahu tentang apa itu plagiarisme dan bagaimana menghindarinya," jelas Sri Hastjarjo.

Kaprodi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D. (Istimewa: Dok Pribadi)
Kaprodi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D. (Istimewa: Dok Pribadi) (istimewa)

Sri Hastjarjo memahami, di dalam menulis sebuah karya ilmiah pasti ada sumber pustaka atau referensi penulis.

Hal itu pun juga diwajibkan ada, yakni untuk memperkuat bahkan juga bisa dijadikan sebagai pembanding dengan apa yang menjadi pokok bahasan penulis.

Baca juga: Cara Daftar KIP Kuliah Tahun 2022 serta Persyaratannya, Akses Link kip-kuliah.kemdikbud.go.id

"Tulisan ilmiah tentu saja tidak mungkin untuk sama sekali tidak mengutip sumber pustaka atau referensi dari penulis lain."

"Sudah ada teknik pengutipan (sitasi) yang diajarkan sejak semester satu."

"Sehingga seharusnya teknik kutipan atau sitasi itu sudah 'mendarah daging' dalam diri seorang akademisi," lanjut Sri Hastjarjo.

Lantas, bagaimana cara seseorang dapat mengetahui apakah karya tersebut murni buah pikiran penulis atau hasil dari plagiarisme?

Sri Hastjarjo menjelaskan saat ini telah banyak aplikasi-aplikasi yang berfungsi untuk memeriksa kemurnian suatu karya.

Dicontohkan Sri Hastjarjo, seperti di UNS, universitas-universitas telah sudah menyediakan layanan untuk memeriksa kemiripan naskah ilmiah.

Baca juga: Sekjen Kemendikbudristek: SDM Unggul Lahir dari Pendidikan Berkualitas

"Kemudian, kampus juga sudah menyediakan layanan untuk memeriksa kemiripan naskah ilmiah."

"Misalnya dengan berlangganan software-software untuk memeriksa kemiripan naskah."

"Di UNS misalnya, naskah ilmiah yang akan di-publish harus lolos uji kemiripan."

"(Di mana) maksimal skor kemiripan (antara tulisan orang dengan tulisan si penulis) 25 persen, kalau lebih dari itu, harus ditulis ulang," sambung Sri Hastjarjo.

Melalui kecanggihan inilah, sekarang dapat digunakan untuk mempermudah pengoreksian adanya plagiarisme.

Untuk itu, demi dapat menghindari kasus plagiarisme tersebut, langkah-langkah pengoreksian dengan penggunaan software tersebut juga dapat dijadikan sebagai pilihan.

Sehingga meminimalisir terjadinya plagiarisme yang berujung pada pelanggaran hukum.

"Hal ini dalam rangka mencegah terjadinya plagiarisme."

Baca juga: Diperlukan Langkah Strategis di Sektor Pendidikan agar Segera Atasi Learning Loss

"Plagiarisme adalah pelanggaran etika akademik yang sangat berat, karena ini termasuk tindakan penipuan publik yakni dengan mengklaim ide atau karya orang lain sebagai ide sendiri," kata Sri Hastjarjo.

Apalagi saat ini banyak pengguna media sosial yang dengan mudahnya mendapatkan ataupun membagikan informasi.

Tentu ada sikap tanggung jawab yang harus dimiliki.

Bagi seorang akademisi, baik itu mahasiswa bahkan Guru Besar sekalipun, harus tetap memahami tentang plagiarisme.

Jika kedapatan melakukan plagiarisme, berarti mentalitas seseorang tersebut perlu dipertanyakan.

"Karena itulah, saya mengatakan bahwa praktik plagiarisme, apalagi dilakukan oleh seseorang yang sudah memiliki jabatan guru besar, itu adalah masalah mentalitas."

"(Para pelaku plagiarisme mungkin) memang kehabisan ide tulisan."

"Sehingga kemudian terjebak dalam praktik plagiarisme."

Baca juga: Bertemu Pengurus FRPKB, KSAD Jenderal Dudung Ungkap Keprihatinan Atas Maraknya Radikalisme di Kampus

"(Yakni dengan) mengambil ide orang lain tanpa menyebutkan sumber."

"Atau malah yang lebih parah adalah mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri."

"Karena sebenarnya plagiarisme itu jenisnya cukup banyak."

"Ada yang bisa dilakukan tidak sengaja (misalanya lupa mencantumkan sumber asli, atau keliru dalam cara pengutipan)."

"Ada pula yang memang disengaja, misalnya mengutip tulisan orang lain dan dengan sengaja tidak menyebut sumber aslinya."

"(Bahkan juga bisa) mengganti nama pengarang asli dengan nama sendiri, atau mengakui kerja kelompok sebagai kerja individu," jelas Sri Hastjarjo.

(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas