Pakar: Pelabelan BPA Justru Buat Pasar AMDK Galon Lebih Sehat
Pelabelan BPA akan membuat orang sadar untuk memilih, apakah dia menginginkan produk yang sudah dikasih label dan tahu implikasi kesehatannya
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio, menepis anggapan bahwa rencana pelabelan BPA pada AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) galon guna ulang polikarbonat (plastik keras) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan memicu persaingan tidak sehat di pasar.
Sebaliknya, menurut Tjahjanto, pelabelan BPA itu malah akan membuat pasar AMDK galon lebih sehat.
“Persaingan yang sehat akan terjadi jika konsumen makin sadar akan kesehatannya,” kata Tjahjanto dalam webinar yang diselenggarakan oleh FMCG Insights, sebuah lembaga riset dan advokasi berbasis Jakarta, dengan tema “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat” pada Kamis (21/4/2022).
Lebih lanjut, Tjahjanto menjelaskan bahwa pelabelan BPA akan membuat orang sadar untuk memilih, apakah dia menginginkan produk yang sudah dikasih label dan tahu implikasi kesehatannya atau produk yang tidak mengandung BPA.
Pada saat yang sama, produsen produk yang mengandung BPA pun akan terdorong untuk memperbaiki produknya dan berinovasi untuk dapat tetap bersaing.
“Inilah kondisi yang disebut dalam dunia ekonomi sebagai contestable market,” katanya. “Inilah kondisi yang kita harapkan, bahwa pasar mengarah kepada kondisi yang benar-benar bersaing secara sehat.”
BPA sendiri merupakan bahan kimia yang menjadi bahan baku dalam proses produksi kemasan plastik keras atau polikarbonat. Dalam ratusan publikasi ilmiah, BPA disebut bisa menyebabkan antara lain kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan.
Fakta ilmiah tersebut, menurut Tjahjanto, menimbulkan kondisi yang dalam dunia bisnis disebut dengan negative externality atau kondisi munculnya dampak negatif dari aktivitas usaha. Ketika kondisi ini terjadi, pemerintah harus ikut masuk untuk memperbaikinya.
“Ini karena kondisi tersebut bisa menimbulkan kegagalan pasar atau market failure di masa depan,” katanya.
Dia mencontohkan kebijakan pemerintah mewajibkan pelabelan bahaya merokok pada kemasan rokok dan pelarangan merokok di tempat-tempat publik agar masyarakat sadar akan potensi bahaya itu dan pemerintah serta industri terhindar dari potensi gugatan di masa depan.
Di sisi lain, Tjahjanto menilai pasar AMDK galon di Indonesia sebenarnya relatif kurang sehat. Ini karena terjadi apa yang disebut lock-in (penguncian pelanggan) pada produk tertentu. Konsumen harus mendeposit sejumlah uang untuk mendapatkan galon A tetapi tidak bisa menukarnya dengan galon B jika galon A tidak ada di toko.
“Adanya lock-in dan kemudian biaya penggantian (switching cost) menciptakan rintangan untuk masuk pasar (barrier to entry), dan produsen yang melakukan lock-in secara kuantitas akan menjadi sangat dominan di dalam pasar ini,” katanya, “dalam teori, kondisi ini disebut oligopoli model Stackelberg.”
Oleh karena itu, menurut Tjahjanto, selain bertujuan mengantisipasi negative externality, pelabelan BPA bisa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan rintangan itu. “Masyarakat jadi bisa lebih memilih, sehingga artinya tidak ada lock-in.”
Dalam webinar yang sama, peneliti administrasi hukum dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Ima Mayasari, memandang bahwa Rancangan Peraturan BPOM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan telah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dan serta ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan olahan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.